JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan ceramah kepada peserta Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXX Gelombang I Tahun 2023, Selasa, (12/9/2023), di Aula Sasana Adhika Karyya Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan. Suhartoyo memaparkan materi berjudul ‘Beracara di Mahkamah Konstitusi’ dengan didampingi Kabid Sentra Diklat Khunaifi Alhumami selaku moderator.
Kepada 393 calon jaksa yang berasal dari seluruh Indonesia itu, Suhartoyo menjelaskan beracara di MK tidak menggunakan biaya. Pemohon dapat menunjuk kuasa hukum dan kuasa hukum yang beracara di MK tidak harus advokat. Selain dapat menunjuk kuasa hukum, Pemohon dan/atau Termohon dapat menggunakan pendamping yang mengerti hukum. Hal ini dilakukan MK semata ingin memberikan akses peradilan seluas-luasnya kepada masyarakat.
“Untuk mempunyai kedudukan hukum di MK harus memiliki syarat kumulatif yakni adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang dirugikan dengan berlakunya suatu Undang-Undang (UU),” kata Suhartoyo.
Suhartoyo mengungkapkan, MK pernah memutus UU Ketenagakerjaan yang melarang pernikahan sesama pegawai dalam satu kantor. Pemohon dalam perkara itu mengajukan argumentasi bahwa pegawai tidak dapat menentukan takdir dengan siapa nanti dia akan menikah.
“Oleh karena itu, MK menilai ada kerugian konstitusional yang dialami Pemohon,” terang Suhartoyo.
Berikutnya, Suhartoyo menjelaskan, dalam perkara pengujian UU di MK istilah yang digunakan adalah “permohonan” bukan “gugatan”. Karena Pada hakikatnya hanya terdapat satu pihak sebagai Pemohon (voluntair) dan tidak ada lawan. Sementara kedudukan Presiden/Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan sebagai Pihak Termohon, namun hanya sebagai pemberi Keterangan. Istilah “permohonan” menunjukkan bahwa pengujian UU sesungguhnya bukan sengketa kepentingan para pihak (contensiosa, adversarial, inter parties).
“Oleh karena itu, beperkara di MK mirip dengan perkara voluntair adversarial di pengadilan agama dan perdata,” jelas Suhartoyo.
Menjawab pertanyaan peserta mengenai kewenangan MK mengadili Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu), Suhartoyo menjelaskan, kewenangan MK menguji perppu dengan pertimbangan bahwa perppu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU.
“Memang dalam UUD, MK tidak disebut dapat menguji perppu, termasuk pengujian formil atau materil, dan hanya disebut pengujian UU terhadap UUD. Namun dalam perjalanannya MK memberikan tafsir dapat menguji perppu dengan argumentasi kedudukannya setara dengan UU, bahkan perppu diuji secara formil seperti saat ini,” ungkap Suhartoyo.
Terkait dengan adanya pandangan masyarakat yang menyatakan MK telah menjadi positive legislator, Suhartoyo mengatakan MK dapat memberikan pemaknaan terhadap suatu norma sehingga berbeda dengan pandangan publik selama ini. Selain itu, UU adalah milik publik sehingga tidak ada pihak mana pun yang dapat melindungi dari pengujian.
Selain kewenangan menguji UU, MK juga berwenang mengadili sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya disebut dalam UUD. Menurut Suhartoyo, dalam perkara ini ada pemohon dan ada tergugat sehingga perkara ini merupakan perkara contensiosa. Adapun objek SKLN yaitu kewenangan konstitutional lembaga negara yang dianggap diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain.
Kewenangan MK selanjutnya adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden/Wakil Presiden dan PHPU anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kemudian kewenangan MK dalam perkara pembubaran partai politik, di mana yang menjadi Pemohon adalah Presiden, jaksa memiliki kedudukan sebagai kuasa hukum Presiden.
Berikutnya kewenangan MK memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Sementara kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah merupakan kewenangan tambahan.
Menjawab pertanyaan peserta soal constitutional complain, Suhartoyo mengatakan kewenangan itu tidak dimiliki MK meskipun sebenarnya constitutional complain itu dibutuhkan bagi warga negara untuk mendapatkan keadilan. Namun demikian hal tersebut kembali kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui perubahan UUD 1945, atau oleh pembentuk UU seperti halnya pemberian kewenangan memutus perselisihan hasil pilkada yang diatur dalam UU.
Putusan MK
Sifat putusan MK final dan mengikat. Namun demikian, kata Suhartoyo, jika ada yang mengajukan permohonan yang baru dengan argumentasi yang baru dan kuat, bisa saja Hakim Konstitusi mengubah pendiriannya. Diungkapkan olehnya, banyak permohonan yang menguji norma yang pernah diputus dan dinyatakan ditolak oleh MK, namun karena memiliki landasan argumentasi yang kuat maka bisa saja Hakim Konstitusi mengubah pendiriannya. Hal itu bukan berarti Hakim Konstitusi inkonsisten.
“Siapapun terikat dengan putusan MK sejak dibacakan dalam sidang pengucapan putusan, sebagaimana dengan terikatnya siapa pun dengan keberlakuan UU,” tukasnya.
Jaga Integritas Jaksa
Suhartoyo berpesan jaksa harus memiliki integritas, kompetensi. Menurut Suhartoyo, para jaksa muda saat ini terlihat kritis, terbukti adanya permohonan pengujian UU oleh jaksa.
Selain itu, Suhartoyo juga mengingatkan kepada para peserta untuk menimba pengalaman ketika bertugas di kota kecil. Suhartoyo pun sedikit berbagi pengalamannya di masa lalu sebagai seorang hakim dari daerah terpencil. Menurutnya, banyak pengalaman yang dapat diambil sebagai pembelajaran Ketika bertugas di daerah terpencil.
Penulis: Ilham WM.
Editor: Nur R.