JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian tentang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (11/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang yang digelar secara luring dan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Ignatius Supriyadi mengatakan pihaknya telah mengubah atau mencantumkan bunyi pasal anggaran dasar yang menyebutkan bahwa direktur berwenang mewakili PT Aquarius Musikindo sepanjang direktur utama berhalangan dan hal itu tidak perlu dibuktikan pada pihak ketiga.
“Kemudian pada kewenangan MK, kami juga menambahkan dua uraian terkait dengan kewenangan MK sebagai pelindung konstitusi dan juga The Sole Interpreter of Constitution sebagaimana kami tuangkan dalam poin 4 dan 5,” terangnya.
Sementara dalam bagian kedudukan hukum, Ignatius menyebut pihaknya menambahkan uraian terkait dengan hak konstitusionalitas dari para pemohon untuk memperoleh manfaat dari seni demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana diatur dan ditentukan dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
“Dan sudah kami uraiakan detil juga mengenai bagaimana kondisi saat ini yang terjadi yang menyebabkan para pemohon kehilangan hak konstitusionalitasnya untuk memperoleh manfaat dari karya seni musik yang diciptakannya,” tegas Ignatius.
Pada bagian alasan permohonan, sambung Ignatius, para Pemohon memasukkan arahan dan petunjuk Majelis Hakim mengenai Pasal 28C ayat (1). Kemudian, memasukkan mengenai proses atau diskursus rapat di DPR RI yang membahas mengenai ketentuan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta, diketahui bahwa maksud dari pembentuk UU adalah untuk melindungi pembajakan yang marak terjadi baik kaset, CD, maupun video dijual melalui mall ataupun digital.
Sebelumnya, PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw menguji aturan mengenai larangan pengelola tempat perdagangan membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Aturan tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Ketiganya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 84/PUU-XXI/2023.
Pemohon mendalilkan berdasarkan dari kasus konkret yang dialami yakni ketika media sosial banyak memuat atau menayangkan atau mengumumkan lagu-lagu atau master yang dimiliki pemohon tanpa izin dari pemohon. Namun dilihat dari UU Hak Cipta belum mengatur khususnya mengenai pertanggungjawaban dari penyedia layanan digital yang khususnya berbasis User Generate Content (UGC).
Para pemohon mengajukan somasi terhadap salah satu penyedia platform terkait dengan banyaknya materi muatan yang melanggar hak cipta atas lagu-lagu atau master dari para pemohon. Akan tetapi, penyedia platform berasumsi atau berdalih adanya ketentuan yang mengatur penyedia platform tidak bertanggung jawab atas konten yang diunggah oleh UGC dan menurunkan apabila ada keberatan dari pemegang Hak Cipta atau pencipta atau pemegang hak terkait.
Pemohon menilai UU Hak Cipta belum sepenuhnya mengatur tentang hal tersebut. Sehingga Pemohon melihat ada ketentuan Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta sebagai suatu perwujudan dari chief harbour yang memberikan larangan bagi tempat perdagangan untuk membiarkan layanan atau penggandaan pelanggaran Hak Cipta. Namun di dalam Pasal 10 dan Pasal 114 ini memang terkesan masih sempit dan belum mengakomodir fakta atau fenoma yang terjadi saat ini khususnya media sosial yang berbasis UGC.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan materi muatan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina