JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 8 angka 1, Pasal 1 angka 1, Pasal 8 angka 2, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), pada Kamis (7/9/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan perkara Nomor 95/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Inri Januar yang merupakan seorang dosen Fakultas Hukum.
Persidangan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic dengan Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Agenda sidang yaitu pemeriksaan pendahuluan.
Oktoriusman Halawa selaku kuasa hukum Pemohon dalam persidangan mengatakan Pasal 8 angka 2 Pasal 2 UU P2SK bertentangan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014. “Adanya Inskonstitusional eksistensi OJK juga didukung dengan hilangnya atau dihapusnya dasar kewenangan yang mana dalam Pasal 34 UU BI berikut dengan penjelasannya. Penghapusan itu melalui pasal 9 angka 19 UU PPSK,” kata Oktoriusman.
Peralihan Kewenangan BI
Oktoriusman menjelaskan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diperoleh dari adanya peralihan sebagian dari kewenangan Bank Indonesia (BI) ke OJK. Peralihan ini diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU BI yang menyatakan “Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang”.
Dengan demikian, melalui Pasal 34 UU BI tersebut, OJK memperoleh kewenangannya. Secara teoritis, kewenangan bersumber dari peraturan perundang-undangan yang diperoleh melalui tiga cara yaitu; atribusi, delegasi, dan mandat.
Lebih lanjut Oktoriusman menjelaskan, dengan dihapusnya dasar hukum kewenangan OJK pada UU BI, maka bilamana OJK terus melaksanakan kewenangannya, hal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, bilamana OJK juga terus melaksanakan kewenangannya, maka hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dasar hukum kewenangan OJK dan dasar hukum dibentuknya UU OJK telah dihapus. Namun di sisi lain, OJK yang terus melaksanakan kewenangannya. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Ketidakpastian hukum lainnya adalah status hukum OJK didasarkan pada Pasal 8 angka 2 UU P2SK yang semakin menimbulkan inkonstitusional OJK.
Pemohon dalam permohonannya juga menyebutkan kewenangan fungsi pengaturan harus tetap berada atau dikembalikan kepada BI sebagai konskuensi dari BI sebagai Bank Sentral yang memiliki tujuan untuk mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas Sistem Pembayaran, dan turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. BI sebagai lembaga independensi mempunyai kewenangan mengatur atau membuat/menerbitkan peraturan yang merupakan pelaksanaan UU dan menjangkau seluruh bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, BI sebagai suatu lembaga negara yang independen dapat menerbitkan peraturan dengan disertai kemungkinan pemberian sanksi administratif. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 8 UU BI yang menyatakan “Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
Permohonan Provisi
Pemohon dalam permohonannya juga meminta kepada MK untuk menjatuhkan putusan sela (provisi). Permohonan provisi ini atas dasar hukum kewenangan OJK dan dasar hukum (landasan yuridis) lahirnya UU OJK telah dihapuskan sejak diundangkannya UU P2SK pada 12 Januari 2023.
Dengan demikian, segala keputusan dan tindakan hukum yang dilakukan oleh OJK sejak tanggal tersebut adalah wajib dinyatakan tidak sah menurut hukum. Kemudian, demi mencegah semakin banyaknya tindakan hukum maupun keputusan OJK yang tentunya menggunakan APBN, maka untuk sementara seluruh kegiatan ataupun operasional OJK dihentikan dan diambil alih oleh BI.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menasihati Pemohon agar mempertegas norma pasal yang diujikan. Dalam posita, Pemohon menguji Pasal 8 angka 1, Pasal 1 angka 1, Pasal 8 angka 2 dan Pasal 2 ayat (1). Namun ada norma pasal yang berbeda dalam petitum.
“Kalau saya mencermati petitum, yang mana sih sebenarnya yang diuji. Kok ketika mengalternatifkan menjadi agak bergeser. Nanti dicermati. Di dalam petitum hanya minta Pasal 8 angka 2 dan Pasal 2 ayat (1). Alternatifnya Pasal 8 angka 1, Pasal 1 angka 1. Nah itu yang mana? Kalau membuat petitum alternatif itu hanya pilihannya inskonstitusional secara utuh dan kemudian alternatifnya inskonstitusional secara bersyarat. Normanya harus tetap sama, tapi kalau berbeda normanya harus diclearkan. Jangan nanti alternatif berubah pasalnya,” kata Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan Pemohon untuk mengecek putusan MK terkait dengan UU yang menggunakan metode Omnibus Law. Selain itu, Enny menyebut Pemohon berprofesi sebagai dosen yang mengajar teori asas perundang-undangan sangat umum sekali termasuk kemudian ketatanegaraan.
“Apa relevansinya dia mengajar soal OJK di situ. Itu kan tidak jelas di sini. Oleh karena itu, kalau dia bingung kebebasan akademik kan bisa dia gunakan analisis untuk mengkaji bagaimana mengatasi kebingungan seharusnya tidak bingung. Kan bisa dilakukan. Ini perlulah saudara memberikan pembuktian apa sesungguhnya yang sudah dilakukan oleh yang bersangkutan itu. Kalau dia dosen Ketatanegaraan Perundang-undangan itu masih sangat jauh dari untuk melihat apakah keterkaitannya antara norma yang dimohonkan pengujian dengan anggapan kerugian. Di mana hubungan kausalitasnya di situ. Ini kan gak kelihatan. Kecuali nanti saudara menggandeng lembaga keuangan misalnya yang diawasi OJK,” tegas Enny.
Di akhir persidangan, Majelis Hakim menginformasikan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Permohonan diterima Kepaniteraan MK paling lambat Rabu 20 September 2023.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.