JAKARTA, HUMAS MKRI - Pola pengorganisasian Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak bisa dan tidak boleh dipersamakan dengan pola pengorganisasian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam hal ini, KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang didesain bersifat mandiri, namun terikat dalam garis hierarki hingga KPU RI. Terlebih lagi, dalam institusi KPU terdapat sifat nasional. Hal ini dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan pemilu terdapat satu kesatuan sistem. Oleh karena itu, kewenangan KPU RI untuk membentuk tim seleksi anggota KPU, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak dapat dilepaskan dari desain hierarkis sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Demikian pertimbangan hukum Putusan Nomor 74/PUU-XXI/2023 atas permohonan yang diajukan oleh Mantan Ketua KPU Kabupaten Dogiyai Osea Patege. Putusan ini dibacakan pada Rabu (30/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan orang hakim konstitusi lainnya. Dalam permohonannya, Osea menguji secara materiil Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu.
Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan pertimbangan hukum tersebut mengatakan terkait dengan mekanisme atau tata kerja KPU diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu yang menentukan bahwa KPU, KPU Provinsi, dan KPUKabupaten/Kota bersifat hierarkis, termasuk KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pada satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan sifat hierarkis tersebut, lanjutnya, struktur organisasi KPU didesain dalam bentuk hierarki atau berjenjang. Jika dikaitkan dengan sistem birokrasi, kekuasaan, tanggung jawab, dan kewenangan diatur berdasarkan tingkatan posisi atau jabatan dalam suatu organisasi. Walaupun dalam implementasinya seringkali dikaitkan dengan sifat sentralistik, namun sejatinya sifat hierarkis memiliki perbedaan karakter mendasar dengan model birokrasi sentralistik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kemudian, Suhartoyo menyebut jika dikaitkan dengan pengorganisasian KPU, menurut Mahkamah desain hierarkis antara KPU RI, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu, menunjukkan bahwa kewenangan dan tanggung jawab masing-masing jenjang (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Masing-masing jenjang atau tingkatan tersebut merupakan penyelenggara pemilu di masing-masing tingkatan yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemilu.
“Misalnya, dalam menyelenggarakan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota diberikan kewenangan penuh. Namun demikian, secara hierarkis KPU RI diberikan kewenangan oleh UU 7/2017 untuk menyusun tata kelola dan mekanisme kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, termasuk mengangkat, membina, dan memberhentikan Anggota KPU Provinsi, Anggota KPU Kabupaten/Kota, dan Anggota PPLN, agar terwujud satu kesatuan sistem penyelenggaraan pemilu,” urai Suhartoyo.
Sementara terkait dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu, Mahkamah memahami maksud dan tujuannya mengenai argumentasi pemenuhan prinsip desentralisasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 UUD 1945. Dalam pandangan Pemohon, sambung Suhartoyo, pengorganisasian KPU hingga tingkat daerah sekalipun hendaknya mengikuti prinsip desentralisasi agar tercipta kesetaraan.
“Sehubungan dengan pendapat ini, Mahkamah menegaskan bahwa pola pengorganisasian KPU tidak bisa dan tidak boleh dipersamakan dengan pola pengorganisasian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebab KPU lembaga penyelenggara pemilu yang didesain bersifat mandiri, namun terikat dalam hierarki hingga KPU RI. Terlebih lagi dalam institusi KPU terdapat sifat nasional. Tujuannya agar dalam penyelenggaraan pemilu terdapat satu kesatuan sistem. Oleh karena itu, kewenangan KPU RI untuk membentuk tim seleksi anggota KPU, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak dapat dilepaskan dari desain hierarkis sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu,” sebut Suhartoyo.
Selain itu, Pemohon—yang pernah menjabat Ketua KPU Kabulaten Dogiyai pada 2012—merasa dirugikan atas mekanisme pencalonan, pemilihan, dan penetapan yang dilakukan secara sentralistik oleh tim seleksi yang berada di bawah kendali KPU RI, sehingga menimbulkan ketidaksetaraan akses atau kesempatan yang sama. Atas dalil ini, Mahkamah melihat Pasal 23 ayat (1), 28 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (3) telah mengatur secara jelas tahapan pemilihan dan tidak hanya menitikberatkan pada segi administratif saja melainkan juga menjabarkan rangkaian tahapan seleksi yang harus dilalui oleh peserta seleksi anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota.
“Tak hanya soal pengetahuan kepemiluan yang digali dalam proses seleksi, melainkan juga aspek lain seperti aspek moral, independensi, serta kemampuan calon untuk menghadapi tekanan dan ritme pekerjaan sebagai penyelenggara pemilu menjadi bagian dari penilaian tim seleksi,” ucap Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang juga membacakan pertimbangan hukum.
Atas permohonan ini, Mahkamah memutus menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon. “Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan.
Prinsip Desentralisasi
Terhadap permohonan ini pendapat berbeda muncul dari Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah yang menilai permohonan ini hendaknya dilanjutkan ke persidangan pleno untuk pendalaman. Sebab, dalam pandangannya, isu potensial pada permohonan ini terdapat pada tata kelola rekrutmen komisioner KPU di daerah, khususnya pada peran dan proporsi KPU Provinsi dalam rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota yang perlu dikukuhkan dalam norma undang-undang. Hal ini sebagai wujud penerapan prinsip desentralisasi dan kesetaraan serta kesamaan kesempatan yang adil. Berikutnya, sambung Guntur, terdapat pula urgensi prinsip terbuka, adil, objektif, independen, dan professional dalam tata kelola rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota.
Diakui Guntur bahwa KPU bersifat nasional dan hirarkhis, namun khusus terkait dengan rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota seharusnya menerapkan pendekatan desentralisasi terbatas dalam penentuan panitia seleksi anggota KPU Kabupaten/Kota. Rekrutmen tetap menjadi kewenangan KPU yang dilaksanakan setelah berkoordinasi dengan KPU Provinsi dalam penentuan anggota tim seleksi yang dibentuk oleh KPU.
“Secara prinsip, keterlibatan KPU Provinsi tersebut dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada putera puteri daerah yang memiliki pengetahuan lebih mendalam mengenai daerahnya masing-masing, baik kondisi sosial, ekonomi, kultural maupun geografis untuk berperan lebih besar dalam pembangunan daerah dengan tetap berdasarkan pada prinsip tata kelola rekrutmen yang terbuka, adil, objektif, independen, dan profesional. Secara konstitusional, koordinasi KPU dengan KPU Provinsi untuk melakukan rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota juga sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945,” jelas Guntur.
Secara sederhana Guntur menjelaskan lebih rinci bahwa meskipun dalam proses rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota terdapat koordinasi antara KPU dengan KPU Provinsi, namun koordinasi tidak hanya sebatas pada pelaksanaan rekrutmen tetapi juga pada tataran penentuan komposisi tim seleksi yang memberi porsi lebih besar ditentukan oleh KPU Provinsi. Hal demikian, sambung Guntur, tidak akan mendegradasi posisi KPU Pusat (KPU RI) yang bersifat nasional dan hierarkis.
Senada dengan hal ini, keberadaan penyelenggara pemilu yang kompeten dan berintegritas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keseluruhan kualitas proses penyelenggaraan pemilu. Sehingga, penting untuk memberikan perhatian khusus terhadap seleksi anggota KPU khususnya KPU di daerah yang dapat menjadi pintu gerbang dalam terwujudnya proses pemilu berkeadilan dan transparan di daerah-daerah yang menjadi simpul persatuan dalam NKRI. Selain itu, Guntur juga melihat, prinsip-prinsip tata kelola yang baik khususnya dalam proses rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota, secara norma akan jauh lebih impresif ketika prinsip terbuka, adil, objektif, independen, dan profesional disisipkan ke dalam norma (pasal-pasal yang diujikan). sehingga hal tersebut dapat kelak menjadi pedoman yang lebih baik bagi tata kelola dan hubungan sinergis antara KPU Pusat, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
“Berdasarkan pertimbangan dan kerangka pikir di atas, sekali lagi, meskipun permohonan a quo tidak masuk ke tahap persidangan pleno, menurut hemat saya, permohonan a quo hendaknya dikabulkan untuk sebagian,” tandas Guntur.
Baca juga:
Eksistensi Timsel Anggota KPU Dinilai Sentralistik
Mantan Ketua KPU Dogiyai Persoalkan Timsel Pemilihan yang Inkompeten
Dalam persidangan sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 23 ayat (1), 28 ayat (1), 31 ayat (1), 32 ayat (1), 33 ayat (1), 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu. Norma-norma tersebut terkait dengan mekanisme pencalonan, pemilihan, dan penetapan yang dinilai dilakukan secara sentralistik oleh tim seleksi yang berada di bawah kendali KPU Pusat. Lebih jelas Pemohon menyebutkan proses seleksi anggota KPU menjadi pintu gerbang untuk mewujudkan proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kegagalan untuk menghasilkan anggota KPU yang berintegritas di tingkat pusat sudah tentu akan berpengaruh dan mempengaruhi kualitas penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pemohon menilai pasal-pasal yang diujikan tersebut menyebabkan ketidaksetaraan terhadap akses kesempatan untuk menjadi anggota KPU Kabupaten/Kota karena seluruh mekanisme pencalonan, pemilihan, dan penetapan dilakukan secara sentralistik oleh tim seleksi yang berada di bawah kendali KPU Pusat. Sehingga, tim seleksi dan proses pemilihan yang diselenggarakan oleh KPU Pusat untuk memilih calon anggota KPU Kabupaten/Kota memiliki karakteristik sentralisasi sehingga calon-calon KPU Kabupaten/Kota terpilih cenderung menjadi representasi pusat dan tidak memahami kondisi dan kekhususan yang terjadi pada masyarakat di daerah. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon berpandangan Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu telah secara jelas dan nyata bertentangan dengan prinsip desentralisasi serta prinsip kesetaraan dan kesamaan kesempatan yang adil dalam berpartisipasi pada jabatan pemerintahan lokal daerah, khususnya untuk menjadi anggota KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (4), Pasal 18A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (1) dan (3) UUD 1945.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim