JAKARTA, HUMAS MKRI - Pemerintah/Presiden menghadirkan Turro Selrits Wongkaren, Bibit Gunawan, Faisal Santiago, dan Elviandri sebagai Saksi yang memberikan keterangan pada sidang lanjutan pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Sidang ketujuh Perkara yang teregistrasi Nomor 54/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Selasa (29/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Faisal Santiago yang merupakan Direktur Program Program Pascasarjana Universitas Borobudur Jakarta memberikan kesaksian atas hal yang diketahui saat penyelenggaraan konsultasi publik RUU penetapan Perppu Cipta Kerja. Faisal menyebutkan kegiatan konsutasi publik dilakukan untuk menjalankan amanat pembentukan peraturan perundang-undangan—dalam hal pemenuhan aspek meaning full participation, yang terdiri atas uji publik, sosialisasi, desiminasi, dan/atau konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan termasuk dalam pembentukan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja. Sejalan dnegan hal ini, Satgas Cipta Kerja juga telah melakukan berbagai sosialisasi ke berbagai stakeholders untuk menyerap aspirasi usulan substansi UU Cipta Kerja agar lebih baik dan berdaya guna bagi kemakmuran rakyat.
“Dalam acara konsultasi publik ini, terlihat dinamika tanya jawab yang cukup hangat mengenai isu ketenagakerjaan dalam RUU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja ini. Beberapa dosen dan mahasiswa program doktor Universitas Borobudur memberikan berbagai catatan kritis terhadap berbagai substansi ketenegakerjaan. Para pembicara pun mendengarkan, memberikan penjelasan, dan mempertimbangkan berbagai masukan tersebut untuk dikonsolidasi materinya dalam peraturan pemerintah,” sampai Faisal.
Diskusi Narasumber dan Peserta
Sementara Elviandri sebagai akademisi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur yang menjadi Moderator Sesi I pada Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (RUU) di Hotel Mercure, Samarinda, pada 6 Februari 2023. Konsultasi publik dihadiri salah satunya oleh Bambang Setiaji yang menjelaskan mengenai persamaan metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan teori general equilibrium. Menurutnya, teori tersebut mempertimbangkan semua pasar dalam suatu perekonomian secara bersamaan untuk menilai keseimbangan umum. Metode omnibus tersebut, diharapkan dapat mengurai dan memberikan solusi terhadap hambatan-hambatan di sisi regulasi secara komprehensif. Singkatnya, Elviandri mendapati terjadi diskusi antara para narasumber dengan peserta yang hadir, baik secara fisik maupun secara daring.
Sementara Turro Selrits Wongkaren selaku Anggota Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta memberikan kesaksian terkait UU Cipta Kerja. Sekaligus sebagai akademisi, Turro diminta oleh Kementerian Ketenagakerjaan untuk memberi masukan terhadap penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2023. Beberapa rapat dilakukan dengan mengundang pihak Kementerian/Lembaga yang terkait dan beberapa akademisi lainnya.
“Terjadi perdebatan, baik mengenai formula UMP maupun mengenai sisi hukum dalam konteks Keputusan bersyarat dari Mahkamah Konstitusi pada 2021. Pada akhirnya, dikeluarkanlah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 18 Tahun 2021 yang memuat formula UMP yang baru,” jelas Turro.
Berikutnya, Bibit Gunawan mewakili Forum Serikat Pekerja Niaga, Perbankan, dan Jasa Asuransi (FSP NIBA) menceritakan jalannya audiensi yang dilakukan pihaknya terhadap kepastian hukkum atas berlakunya Perppu Cipta Kerja. “Pada intinya sebagai bagian dari masyarakat kami telah memberikan masukan dan mendengarkan penjelasan dari pemerintah sebagaimana audiensi pada 15 Februari 2023 yang diterima Menko Polhukam,” sebut Bibit yang menyampaikan keterangan secara daring.
Tanggapan Hakim
Atas keterangan Saksi yang dihadirkan Pemerintah ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan tanggapan atas keterangan Turro yang berperan sebagai partisipan sebelum disahkannya menjadi UU Cipta Kerja. Wahiduddin mempertanyakan bahan yang digunakan saat kegiatan konsultasi publik, mengingat pada saat Saksi mengikuti agenda tersebut belum ada UU Cipta Kerja. Sementara itu terhadap tiga Saksi Pemerintah lainnya, mempertanyakan bahan yang disampaikan oleh pihak narasumber berupa lampiran RUU Penetapan Perppu saja.
“Perkiraan saya karena Perppu sudah ditetapkan presiden, maka muncul pertanyaan, bagaimana dijelaskan pada waktu itu karenakan kan naskahnya belum disetujui DPR dan ini sebelum 30 Maret 2023,” tanya Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh justru bertanya pada Pemerintah pihak yang terlibat dalam proses revisi UU Cipta Kerja dan RUU Penetapan Perpu 2/2022. Berikutnya Daniel mengajukan pertanyaan tentang revisi RUU Cipta Kerja berubah menjadi Perppu. Sebab Saksi atas nama Turro diinformasikan terlibat dalam dua proses penyusunan UU Cipta Kerja. Selanjutnya Wakil Ketua MK Saldi Isra mempertanyakan kehadiran DPR saat dilakukannya konsultasi publik atau pertemuan yang dihadiri oleh para Saksi Pemerintah. Atas jawaban para Saksi, Saldi meminta keterangan tertulis dan bukti dari Pemerintah atas ketidakhadiran DPR dalam pertemuan yang telah diselenggarakan tersebut.
Baca juga:
Disahkan pada Masa Reses, UU Cipta Kerja Diuji Secara Formil
Serikat Pekerja Perbaiki Permohonan Uji Formil UU Cipta Kerja
Ahli : Pemerintah Justru Merevisi dan Tidak Memperbaiki Prosedural dari UU Cipta Kerja
Makna Lahirnya UU Cipta Kerja di Mata Pakar Hukum Ekonomi
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu (31/5/2023) tersebut, Pemohon mendalilkan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada UU P3. Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerja—yang semula merupakan Perppu Cipta Kerja—disahkan dalam masa reses. Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menjelaskan, ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia merupakan alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sangat tidak beralasan. Pemohon juga menegaskan pada permohonannya bahwa tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat. Terakhir, regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati. Maka lebih berbahaya lagi, tidak melaksanakan putusan MK berarti melanggar konstitusi adalah constitutional organ yang eksistensi dan fungsinya diatur dalam UUD 1945. Pelanggaran konstitusi adalah salah satu definisi “pengkhianatan terhadap negara” yang membuka pintu bagi proses pemakzulan presiden (impeachment). Sehingga Para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan tersebut. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana