JAKARTA, HUMAS MKRI - Almizan Ulfa yang merupakan pensiunan peneliti utama ASN Kementerian Keuangan mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) terhadap UUD 1945. Sidang perkara Nomor 82/PUU-XXI/2023 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dipimpin oleh Hakim Konsititusi Wahidudin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Dalam sidang yang dilaksanakan pada Kamis (24/8/2023) di Ruang Sidang Panel MK, Almizan yang hadir tanpa kuasa hukum menyebutkan Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3 bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Pemohon mempertanyakan ketidakkonsistenan antara Pasal 96 ayat (1) dengan ayat (6), ayat (8), dan ayat (9) UU P3 dengan mencermati dua kata kunci ‘berhak’ dan ‘dapat’. Pasal 96 ayat (1) UU P3 berbunyi, ”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.”
Untuk memenuhi hak ini, Pemerintah wajib mendengarkan, mempertimbang, dan memberikan jawaban atas pendapat yang diberikan masyarakat, di antaranya melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi, kegiatan konsultasi publik. Namun atas adanya pilihan pada norma tersebut dapat bermakna multitafsir dan tidak memiliki kepastian hukum. Sebab pembentuk undang-undang dapat saja menggunakan salah satu dari pilihan yang ada tersebut saat melakukan penyusunan peraturan perundang-undangan. Justru hal yang dinilai perlu menurut Pemohon berupa prinsip-prinsip yang menjamin suara masyarakat didengar, dipertimbangkan, dan ditanggapi seefisien mungkin dalam satu jalur atau koridor yang efisien dan berkelanjutan hingga tercapainya tujuan pastisipasi publik.
“Kerugian hak intelektual saya sangat dirugikan terutama tulisan dalam jurnal atau advokasi publik dan Pemohon mengalami kesulitan untuk menyampaikan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undnag sehingga hak intelektual Pemohon sangat terganggu karena tidak bisa menyampaikan usulan-usulan seperti menyoal indeks gaji pensiunan, gaji ke-13 dan THR. Jika kami bisa menyampaikan hal ini pada awal penyusunannya, kami akan menyalurkan pendapat ini,“ cerita Almizan.
Untuk itu, dalam petitumnya, Almizan meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan konstitusionalitas bersyarat.
Sistematika Permohonan
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan catatan bahwa permohonan di MK dimulai dari identitas Pemohon; kewenangan Mahkamah; kerugian hak konstitusional, baik potensial maupun aktual; hingga posita dan petitum. “Ini agak sulit tetapi nanti bisa dikonsultasikan ke Kepaniteraan MK atau bisa juga memperhatikan permohonan yang pernah ada di MK. Berlakunya norma ini merugikan secara faktual atau baru berpotensi, itulah identifikasi sebenarnya dengan subjek hukum yang dapat didasarkan pada norma yang ada,” saran Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel menyebutkan kerugian konstitusional Pemohon yang terkait dengan norma yang diujikan. Dalam ilustrasi, Daniel memberikan gambaran beberadaan Pemohon dalam memperbaiki pasal-pasal yang diundangkan.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Wahiduddin sebelum mengakhiri persidangan mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya hingga Rabu, 6 September 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk kemudian dapat dijadwalkan untuk persidangan berikutnya oleh MK.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim