JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perdana Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap UUD 1945, digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (23/8/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang untuk Perkara Nomor 79/PUU-XXI/2023 ini beragendakan Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan perkara ini diajukan oleh Rega Felix yang merupakan seorang Advokat dan Dosen Non PNS.
Adapun materi yang diujikan oleh Rega yaitu Penjelasan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama. Kemudian Pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi, dan Penjelasan Pasal 3 huruf g UU Pendidikan Tinggi.
Pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi menyatakan, “Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika melalui pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia”.
Sedangkan Penjelasan Pasal 3 huruf g UU Pendidikan Tinggi menyatakan, “Yang dimaksud dengan "asas tanggung jawab" adalah Sivitas Akademika melaksanakan Tridharma serta mewujudkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan/atau otonomi keilmuan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa serta peraturan perundang-undangan”.
Rega Felix dalam sidang yang digelar secara luring menyampaikan hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani serta untuk menyatakan pikiran, sikap dan mengeluarkan pendapat demi kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia melalui lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan tanpa dibayangi ancaman ketakutan merupakan hak konstitusional bagi insan akademis sebagaimana telah dilindungi oleh Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
“Pemohon ternyata diterima menjadi tenaga dosen di satu universitas sehingga Pemohon akan menjadi bagian dari civitas academica. Sebagai civitas academica tentu kegiatan utamanya adalah mengajar dan mendidik yang dilakukan di muka umum. Sehingga dosen menjadi pihak yang rentan terkena delik pidana penodaan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama atau Pasal 156A KUHP,” terang Rega dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Menurutnya, penjelasan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama bersifat setengah-setengah dalam melindungi civitas academica karena memisahkan antara makna obyektif dan ilmiah dengan kata-kata atau susunan kata-kata yang meliputinya. “Jika sesuatu sudah obyektif dan ilmiah maka termasuk kata-katanya adalah obyektif dan ilmiah. Hal ini berakibat pada ketidakmungkinan civitas academica untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Terlebih Pemohon banyak melakukan pengujian terkait otoritas agama dan hukum agama.
“Sehingga terdapat rasa takut mengembangkan ilmu pengetahuan karena sedikit (salah) dapat dilaporkan pidana akibat tidak jelasnya penafsiran pasal a quo,” ungkapnya.
Rega berharap agar Mahkamah tidak menyatakan permohonan ini ne bis in idem. Menurutnya semenjak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 sudah diketahui bahwa Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama bersifat multitafsir, sehingga terdapat saran untuk merevisi UU Pencegahan Penodaan Agama agar penerapannya jelas. Namun, DPR dan Pemerintah tidak pernah melakukan revisi terhadap UU tersebut, sehingga sampai dengan saat ini pasal tersebut masih bersifat “karet” yang seolah muncul pada saat event politik tertentu.
Selain itu, jika Pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi dikaitkan dengan asas tanggung jawab dalam Pasal 3 huruf g UU Pendidikan Tinggi, dan asas tanggung jawab dikaitkan dengan tanggung jawab pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama, maka kekuasaan telah melakukan kontrol terhadap ilmu pengetahuan. Apabila negara benar-benar ingin menerapkan kebebasan akademik yang terbebas dari politik praktis, makna Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 seharusnya menjadi: “negara mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Dengan penafsiran Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 yang demikian, maka kita dapat menafsirkan apa makna “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan dengan makna tersebut, baru kita dapat melihat pertentangan Pasal 4 UU tentang Pencegahan Penodaan Agama dan Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 3 huruf g UU Pendidikan Tinggi terhadap UUD 1945.
Oleh karena itu, Rega dalam petitumnya meminta MK menyatakan frasa “yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan,” dalam Penjelasan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Kemudian, Rega meminta MK menyatakan frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama” dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tanpa adanya ancaman dan pertanggungjawaban pidana bagi Sivitas Akademika untuk berbeda pendapat dengan pandangan umum keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat”.
Selain itu, menyatakan frasa “asas tanggung jawab” dalam penjelasan Pasal 3 huruf g UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tanpa adanya ancaman dan pertanggungjawaban pidana bagi Sivitas Akademika untuk berbeda pendapat dengan pandangan umum keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat”.
Anggapan Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan Rega (Pemohon), Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta Pemohon untuk mengkonstruksikan kerugiannya yang bersifat potensial. “Kerugian konstitusional ini, potensial, belum saudara uraikan itu bersifat potensial. Oleh sebab itu, coba dikonstruksikan kerugian yang bersifat potensial ini dengan lebih meyakinkan majelis hakim kalau memang kerugian ini tidak dialami langsung oleh Pemohon juga ada bukti-bukti penerapan norma yang diuji telah ternyata merugikan kepentingan umum, misalnya dosen yang sudah lebih dahulu yang dirugikan dengan pasal-pasal ini. Adakah dosen yang memberikan kuliah atau memberikan bahan ajar yang dirugikan dengan ketentuan ini. Saya kira nanti bisa dielaborasi. Kalaupun sudah ada SK nanti diperkuat bahwa tenaga pendidik yang nanti seperti dialami pemohon ini dirugikan oleh pasal-pasal yang dimohonkan pengujian ini,” kata Wahiduddin.
Hal yang sama dikatakan oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul yang menyarankan Pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami. “Menguraikan pengandaian ini harus lebih bisa kelihatan tetapi lebih ke konkretnya. Jadi, di sini saya lihat menguraikan itu apabila nanti sudah melaksanakan tugas sebagai dosen civitas academica di dalam perguruan tinggi. Kebebasan akademik itu juga harus diuraikan bagaimana kalau di dalam membina kelas itu apakah juga menyinggung yang dikemukakan itu. Mungkin perlu diuraikan lebih lanjut agar kelihatan nanti dimana kerugian konstitusional itu sangat boleh dikatakan merupakan anggapan kerugian konstitusional,” tegas Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengingatkan, apabila legal standing lemah maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan. “Saudara kan menjelaskan sebagai dosen yang baru saja masuk, yang ada rasa takut akibat berlakunya norma yang saudara mohonkan pengujian. Saya ini sudah 30 tahun lebih kok beranggapan norma ini gak ada masalah menurut saya. Ya gimana Anda ada masalah ini. Coba Anda uraikan ya. Harus jelas lho ini, hak konstitusional yang anda yakini yang diberikan oleh UUD yang ternyata menyebabkan persoalan. Itu harus anda uraikan, apa yang membuat Anda takut. Kalau ini (kerugian) potensial, anggapan potensialnya dimana. Jadi nanti kelihatan ada causal verbandnya, ada memang sebab akibatnya,” ungkap Enny.
Sebelum menutup persidangan, Enny menyebut Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan paling lambat diterima oleh Kepaniteraan MK pada Selasa 5 September 2023.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.