MALAYSIA, HUMAS MKRI – Delegasi Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih melakukan kunjungan kerja ke Kuala Lumpur, Malaysia pada Senin (21/8/2023). Kedatangan Enny dalam rangka menghadiri Judicial Colloquium diselenggarakan oleh the Human Rights Commission of Malaysia (SUHAKAM). Dalam kegiatan tersebut, lebih dari 100 peserta hadir secara langsung, termasuk hakim dari Pengadilan Federal, Pengadilan Banding, Pengadilan Tinggi, Sekretariat Kehakiman Malaysia, SUHAKAM, dan Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR).
Tema yang diangkat dalam acara Judicial Colloquium 2023 ini adalah “Breaking Barriers: Empowering Women and Girls through Human Rights and SDGs”. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjadi satu panel dengan Komisioner SUHAKAM dan Mantan Former Senior President of the Singapore Syariah Court (SYC) yang membahas terkait dengan praktik perlindungan perempuan dan anak di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Dalam ceramahnya yang berjudul, “the Efforts of the Indonesian Constitutional Court in the Protection of the Rights of Women,” Enny menyampaikan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi dan pelindung hak asasi manusia, termasuk hak-hak perempuan dan anak. Apabila terdapat suatu undang-undang yang dinilai melanggar hak warga negara, maka atas permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi dapat memainkan perannya untuk melindungi, memajukan, dan merehabilitasi hak konstitusional warga negara. Lebih lanjut, Enny menerangkan bahwa batu uji untuk menentukan konstitusionalitas suatu undang-undang haruslah didasarkan pada UUD 1945.
Enny kemudian menjelaskan bahwa salah satu bentuk perlindungan hak perempuan dan anak yang pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 terkait dengan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh tiga orang perempuan yang menikah di bawah umur. Dalam perkara tersebut, MK membatalkan keberlakuan aturan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Menurut Enny, Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan diskriminatif dikarenakan dengan adanya pembedaan batas usia minimum perkawinan yang termuat di dalamnya telah menyebabkan perempuan menjadi diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, karena secara hukum seorang perempuan pada usia 16 tahun yang menurut Undang-Undang Perlindungan Anak masih tergolong ke dalam pengertian anak, jika telah kawin akan berubah statusnya menjadi orang dewasa, sementara bagi laki-laki perubahan demikian baru dimungkinkan jika telah kawin pada usia 19 tahun.
Selain itu, Enny juga menyampaikan bahwa pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi kemudian memutuskan bahwa usia menikah 16 tahun untuk anak perempuan adalah bertentangan dengan UUD 1945, dan usia minimum untuk menikah bagi perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun menjadi 19 tahun.
Enny menutup presentasinya dengan menyampaikan bahwa dengan putusan ini, Mahkamah Konstitusi berperan penting dalam melindungi hak-hak perempuan. Mahkamah tidak akan tinggal diam jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan Konstitusi. Simposium diakhiri dengan clossing session dari UNICEF Representative to Malaysia and Special Representative to Brunei Darussalam. Kegiatan ini diawali dengan upacara pembukaan yang dibuka oleh Ketua SUHAKAM Dato’ Rahmat bin Mohamad dengan pembicara kunci oleh Ketua Pengadilan Federal Malaysia Tun Tengku Maimun binti Tuan Mat. Di akhir sesi pembukaan, delegasi Indonesia bertukar cinderamata dengan keduanya. Beberapa pembicara hadir, di antaranya President Family Frontiers; Representative dari Sisters in Islam; dan Aktivis Kuala Langat Environmental Action Group. Pada sesi berikutnya, beberapa narasumber membahas terkait dengan progress penerapan the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dengan pembicara dari Child Commissioner, SUHAKAM; Education Specialist, UNICEF; dan Hakim Kuala Lumpur High Court. (*)
Penulis: MLC
Editor: Lulu Anjarsari P.