JAKARTA, HUMAS MKRI - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menjadi indikator kegentingan memaksa akibat terjadinya pelemahan pertumbuhan ekonomi yang bersamaan dengan fenomena stagflasi global. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Bisnis UGM Pramono Nindyo dalam sidang pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
Sidang keenam Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023 tersebut digelar pada Rabu (23/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang ini beragendakan mendengarkan keterangan Ahli Presiden/Pemerintah. Selain Pramono Nindyo, hadir pula Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Ibnu Sina Chandranegara, Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Borobudur Ahmad Redi, serta Wakil Presdir PT Bank Mandiri Tbk Dendi Ramdani.
Dalam keterangannya, Pramono Nindyo mengemukakan pandangan mengenai pemaknaan terbitnya UU Cipta Kerja yang menurutnya diawali dengan dilahirkannya Perppu 2/2022. Menyoal hal ihwal kegentingan memaksa dari norma ini bagi Pramono dapat dicermati dari tinjauan aspek ekonomi; wujud dari tindakan antisipatif; dan perizinan perusahaan di Indonesia sebelum dan setelah lahirnya UU Cipta Kerja. Pramono menyebut dalam hierarki perundang-undangan, Perppu memiliki tingkatan yang sama dengan undang-undang dan ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal yang memaksa. Menurut ahli, hal ini tidak perlu diperdebatkan berkepanjangan, sebab pertimbangan Perppu telah pula diatur dalam konstitusi dan merupakan lingkup kewenangan presiden.
Sebagai ilustrasi, Pramono menyebutkan beberapa Perppu yang lahir dengan tidak mengungkapkan adanya pertimbangan hal ihwal kegentingan memaksa. Salah satunya Perppu 1/1998 tentang Kepailitan yang lahirnya sangat dekat dengan krisis 1998/1999. Dalam Perppu tersebut tidak terdapat kata-kata yang secara eksplisit menyebutkan tentang makna ‘kegentingan memaksa’. Pada intinya, Perppu ini lahir di tengah krisis dengan pertimbangan yang sangat bernuansa ekonomi, bahkan pada masa ini Pemerintah menghabiskan dana talangan senilai 600 T dan pada saat itu tidak ada sumber yang pernah menyatakan negara dalam keadaan darurat.
“Perppu 2/2022 yang diterbitkan Pemerintah ini sama sekali tidak secara tegas menarasikan negara dalam keadaan kegentingan memaksa. Ini terkait dengan UU Cipta Kerja yang setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK dan kemudian diperbaiki dengan Perppu 2/2022 dan pada 31 Maret 2023 disahkan menjadi UU 6/2023 adalah tindakan antisipatif Pemerintah tanpa perlu terjadinya krisis. Pertimbangan yang tampil adalah semua bernuansa ekonomi untuk menghindari krisis seperti yang pernah dialami negara kita pada 1997/1998/2008 sehingga kita menghadapi situasi yang tidak kunjung selesai,” sebut Pramono.
Tindakan Antisipatif
Selain itu, Pramono berpandangan lahirnya UU Cipta Kerja juga merupakan bentuk tindakan antisipatif agar bangsa Indonesia tidak perlu terdampak situasi krisis. Pertimbangan ini sepenuhnya melingkupi pertimbangan ekonomi dan hukum ekonomi. Hal ini juga menjadi bagian dari itikad baik Pemerintah dan menjadi langkah bijaksana guna memperbaiki iklim investasi menuju Indonesia emas pada 2045 mendatang yang kelak akan dinikmati generasi penerus bangsa. Sementara itu, dari sudut pandang perizinan perusahaan di Indonesia sebelum dan setelah lahir UU Cipta Kerja, ia mengatakan Pemerintah telah melakukan reformasi untuk sistem perizinan untuk menjawab pertanyaan investor domestik dan asing yang dinilai berbelit-belit sehingga mengurangi minat investor untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah melahirkan sistem perizinan berbasis risiko dengan cara memangkas dan memperbaiki sistem perizinan sehingga tidak lagi berbeli-belit.
“Lahirnya Perppu ini patut disikapi dengan bijak dan ini langkah antisipatif untuk tidak menunggu menghadapi pengaruh stagflasi global. UU Cipta Kerja ini merupakan undnag-undang masa depan yang berdampak posistif bagi iklim investasi yang menunjang lapangan kerja. Biarkan undang-undang ini bergulir sesuai tujuan dan fungsinya, namun saran dan evaluasi membangun tetap diperlukan, maka kritik itu belum perlu sekarang karena pelaksanaannya baru bergulir di lapangan,” terang Pramono mengakhiri keterangannya yang disampaikan secara daring.
Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi
Berikutnya, Dendi Ramdani dalam pandangannya, melihat keadaan Indonesia berpacu dengan waktu terutama pada 2020 – 2022 mengalami krisis ekonomi akibat Covid-19. Situasi ekonomi Indonesia akan mengalami ancaman populasi penduduk yang menua dan pada saat bersamaan, Indonesia pun harus bersaing dengan negara tetangga dalam memperebutkan nilai-nilai investasi. Bagi Dendi, UU Cipta Kerja adalah terobosan penting dalam sejarah ekonomi Indonesia. Bahkan disinyalir Bangsa Indonesia pun harus berpacu dengan waktu agar menjadi negara berpendapatan tinggi yang harus dicapai tidak lebih 17 tahun ke depan.
“Pendapatan per kapita yang harus dicapai adalah 13.845 dolar dan itu harus dicapai sebelum 2040, sedangkan saat ini Indonesia baru memiliki nilai pendapatan per kapita 4.580 dolar (sesuai data 2022). Maka periode ini sampai 2040 adalah kesempatan emas untuk melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Penduduk usia produktifnya lebih besar, namun ini akan berbalik pada 2040 sehingga ini menjadi deadline bangsa Indonesia. Jika mencapai pendapatan perkapita tadi, maka pertumbuhan ekonomi 6.3% per tahun pun harus diupayakan. Berdasarkan pengalaman di negara lain di dunia, jika gagal mencapai ini maka negara akan masuk pada jebakan negara berpendapatan menegah dan menghadapi pertumbuhan ekonomi rendah, contohnya Brazil dan Afrika. Sehingga penerbitan UU Cipta Kerja ini agar kita terhindar dari jebakan itu,” jelas Dendi.
Sementara itu, Ibnu Sina Chandranegara dalam keterangannya menyebut bahwa terbitnya UU Cipta Kerja dapat dilihat dari doktrin hukum yang disinonimkan dengan konsep kepatuhan terhadap konstitusi dan pembangkangan pada konstitusi. Sedangkan Ahmad Redi memberikan pandangan mengenai pemaknaan ‘sidang berikut’ dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945; pemaknaan dan penerapan hal ikhwal kegentingan memaksa tentang penetapan Perppu menjadi undang-undang; dan relasi konstitusional antara lampiran UU ciptaker dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Baca juga:
Disahkan pada Masa Reses, UU Cipta Kerja Diuji Secara Formil
Serikat Pekerja Perbaiki Permohonan Uji Formil UU Cipta Kerja
Ahli : Pemerintah Justru Merevisi dan Tidak Memperbaiki Prosedural dari UU Cipta Kerja
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu (31/5/2023) tersebut, Pemohon mendalilkan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada UU P3. Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerja—yang semula merupakan Perppu Cipta Kerja—disahkan dalam masa reses. Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menjelaskan, ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia merupakan alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sangat tidak beralasan. Pemohon juga menegaskan pada permohonannya bahwa tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat. Terakhir, regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati. Maka lebih berbahaya lagi, tidak melaksanakan putusan MK berarti melanggar konstitusi adalah constitutional organ yang eksistensi dan fungsinya diatur dalam UUD 1945. Pelanggaran konstitusi adalah salah satu definisi “pengkhianatan terhadap negara” yang membuka pintu bagi proses pemakzulan presiden (impeachment). Sehingga Para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan tersebut. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina