JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (8/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK tersebut. Pemohon perkara Nomor 74/PUU-XXI/2023 tersebut, yakni mantan Ketua KPU Kabupaten Dogiyai, Papua, Osea Petege. Ia menganggap UU Pemilu telah menghambat dirinya mengikuti kembali seleksi pemilihan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota.
“Pemohon dulu adalah Ketua KPU Kabupaten Dogiyai di tahun 2012. Bahwa sebenarnya pemohon berencana untuk ikut serta seleksi pemilihan anggota KPU Kabupaten/Kota dalam pemilu periode ini. Namun karena keberlakuan pasal a quo dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang baru berlaku dalam pemilu periode ini pemohon batal karena kecewa dengan sistemnya,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, dalam persidangan.
Adapun norma yang diujikan yaitu Pasal 23 ayat (1), 28 ayat (1), 31 ayat (1), 32 ayat (1), 33 ayat (1), 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu. Norma-norma yang digugat tersebut terkait mekanisme pencalonan, pemilihan, dan penetapan yang didalilkan dilakukan secara sentralistik oleh tim seleksi yang berada di bawah kendali KPU Pusat.
Dalam perbaikannya, Zico menuturkan, sistem yang tertuang dalam ketentuan tersebut dianggap menyebabkan pembentukan tim seleksi (timsel) yang inkompeten. Sebab, KPU Pusat dinilai tidak mengetahui secara komprehensif keadaan di daerah, tempat dilakukan seleksi pemilihan anggota KPU Kabupaten/Kota.
Menurut Zico, tim seleksi untuk KPU Kabupaten Dogiyai yang dibentuk KPU Pusat telah dibentuk secara keliru. Salah satu anggota timsel yaitu Beatrix Wanane, adalah orang yang telah sebelumnya dijatuhi sanksi etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Padahal tim seleksi seharusnya adalah orang yang bersih dari pelanggaran etik. Namun ketika membentuk tim seleksi, KPU Pusat tidak mengetahui putusan etik tersebut, yang menjatuhkan Beatrix Wanane sanksi. Sebab, KPU Pusat tidak memahami keadaan daerah dan tokoh daerah yang begitu jauh dari mereka,” kata Zico.
Selain itu, dia menyebutkan, anggota tim seleksi yang lain yang dipilih KPU Pusat, yakni Martinus Erwan, yang tinggal di Jakarta, tidak pernah hadir ke Papua selama proses seleksi. Hal ini, lanjut dia, menunjukkan bahwa tim seleksi yang dibentuk KPU Pusat tidak kompeten, karena KPU Pusat tidak mengenal daerah yang dimaksud.
“Perlu juga mengingat bahwa pemilu serentak mengakibatkan beban kerja KPU Pusat sangat banyak sehingga mustahil bagi KPU Pusat dapat dengan detail dan komprehensif untuk membentuk tim seleksi dengan baik di tingkat Kabupaten/Kota,” tutur Zico.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 23 ayat (1), 28 ayat (1), 31 ayat (1), 32 ayat (1), 33 ayat (1), 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Salah satunya, pemohon meminta Pasal 31 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “KPU Provinsi membentuk tim seleksi untuk menyeleksi calon anggota KPU Kabupaten/Kota.”
Sidang perbaikan permohonan tersebut dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Para hakim juga mengesahkan bukti yang diajukan Pemohon terkait perkara Nomor 74/PUU-XXI/2023 itu.
Dalam persidangan sebelumnya, Pemohon melalui Kuasa Hukumnya, Angela Claresta Foek, menjelaskan, proses seleksi anggota KPU menjadi pintu gerbang untuk mewujudkan proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Menurutnya, kegagalan untuk menghasilkan anggota KPU yang berintegritas di tingkat pusat sudah tentu akan berpengaruh dan mempengaruhi kualitas penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Angela mengatakan, pasal-pasal yang diujikan tersebut menyebabkan ketidaksetaraan terhadap akses kesempatan untuk menjadi anggota KPU Kabupaten/Kota karena seluruh mekanisme pencalonan, pemilihan, dan penetapan dilakukan secara sentralistik oleh tim seleksi yang berada di bawah kendali KPU Pusat. Menurut Pemohon, tim seleksi dan proses pemilihan yang diselenggarakan oleh KPU Pusat untuk memilih calon anggota KPU Kabupaten/Kota memiliki karakteristik sentralisasi sehingga calon-calon KPU Kabupaten/Kota terpilih cenderung menjadi representasi pusat dan tidak memahami kondisi dan kekhususan yang terjadi pada masyarakat di daerah.
Berdasarkan dalil-dalil sebagaimana dikemukakan di atas, maka menurut Pemohon, Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu telah secara jelas dan nyata bertentangan dengan prinsip desentralisasi serta prinsip kesetaraan dan kesamaan kesempatan yang adil dalam berpartisipasi pada jabatan pemerintahan lokal daerah khususnya untuk menjadi anggota KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (4), Pasal 18A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (1) dan (3) UUD 1945. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim