JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan dari mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung, pada Selasa (1/8/2023). Rombongan diterima oleh Ananthia Ayu Devitasari, Asisten Ahli Hakim Konstitusi pada Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Kepada para mahasiswa yang hadir, Ananthia Ayu yang akrab disapa Ayu itu menjelaskan materi “Perkembangan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”. Menurut Ayu, MK yang tahun ini berusia 20 tahun ide pembentukannya sudah muncul sejak masa awal kemerdekaan, ketika dalam pembahasan Undang-Undang Dasar (UUD) oleh BPUPKI, Mohamad Yamin mencetuskan ide pembentukan Balai Agung yang memiliki kewenangan menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD.
Ide tersebut disanggah oleh Supomo dengan argumentasi saat itu Indonesia belum cukup memiliki sarjana hukum. Selain itu, Indonesia yang masih dipengaruhi hukum Belanda menganut sistem pembagian kekuasaan. Selanjutnya, ide pembentukan MK muncul kembali pada pembahasan amendemen UUD tahap ketiga.
Kepada para mahasiswa yang sedang menempuh semester VI, Ayu menjelaskan pengujian UU terbagi dalam dua jenis, yakni pengujian formil dan pengujian materil. Dalam pengujian formil, yang diuji adalah proses dan prosedur pembentukan UU. Sementara dalam pengujian materil, MK menguji isi UU baik secara keseluruhan, pasal, ayat, frasa, atau bahkan penjelasan dan lampiran dari UU. Ayu mencontohkan, dalam pengujian UU APBN yang mengatur anggaran pendidikan, yang diuji adalah lampiran UU APBN, dalam lampiran itu disebut besaran anggaran pendidikan.
Semula, kata Ayu, MK dibatasi hanya dapat menguji UU yang disahkan setelah MK berdiri. Namun kemudian ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sehingga norma yang sudah ada sebelum MK terbentuk juga dapat dilakukan pengujian. Ayu menjelaskan siapa pun dapat mengajukan permohonan pengujian UU, termasuk perorangan warga negara, badan hukum publik atau pun privat, dan kesatuan masyarakat adat sepanjang masih hidup.
Kewenangan MK berikutnya, lanjut Ayu, adalah menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya disebut dalam UUD 1945. Dalam perkara ini, yang dapat menjadi pemohon adalah lembaga negara, yang kewenangannya disebut dalam UUD 1945. Berikutnya MK diberi kewenangan untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu). Dalam sengketa hasil pemilu, saat ini perseorangan calon anggota legislatif dapat menjadi para pihak dengan syarat mendapat persetujuan dari ketua dan sekretaris jenderal DPP partai politik.
Dalam perselisihan hasil pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu Presiden-Wakil Presiden, yang menjadi lawan bukanlah calon, melainkan KPU. Sedangkan yang menjadi objek perselisihan hasil adalah penetapan perolehan suara. Sementara Bawaslu memiliki kedudukan sebagai pemberi keterangan.
Kewenangan MK berikutnya adalah pembubaran partai politik dan yang menjadi pemohon adalah Presiden yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung atau menteri yang diberi tugas untuk itu. Terakhir, MK wajib memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran menurut UUD 1945.
Terkait dengan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada), sengketa ini merupakan kewenangan tambahan yang diberikan oleh UU dan yang menjadi termohon adalah KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Sama halnya seperti pemilu legislatif dan pemilihan Presiden-Wakil Presiden, Bawaslu Provinsi, Kabupaten/Kota menjadi pemberi keterangan.
Sifat putusan MK adalah final dan mengikat yang berlaku untuk umum sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno untuk pengucapan putusan yang terbuka untuk umum. Putusan MK itu sama seperti UU karena berlaku untuk umum dan merupakan tafsir dari konstitusi. Jadi, meski permohonan itu diajukan oleh perorangan warga negara, namun putusan MK berlaku untuk seluruh warga negara.
Lebih lanjut Ayu mengungkapkan, data berdasarkan Laporan Tahunan MK, saat ini yang paling banyak diuji adalah UU Pemilu, UU Ibu Kota Negara, UU Pilkada, dan KUHP. Dari data statistik itu menggambarkan pengujian UU yang masuk ke MK saat ini justru lebih banyak yang terkait dengan kepentingan elit.
Ayu melanjutkan, untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses peradilan, MK sudah menerapkan digitalisasi pengajuan permohonan. Hal ini membuat masyarakat dapat dengan mudah mengajukan permohonan tanpa harus datang ke gedung MK.
Menanggapi penjelasan dari Ayu, seorang mahasiswa menanyakan apa perbedaan pengujian di MK dengan MA. Menjawab pertanyaan tersebut Ayu mengatakan MA membawahi badan peradilan di Indonesia. Badan peradilan di bawahnya, yakni di lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan pengadilan khusus. Pengadilan khusus, yakni pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus perkara tertentu. Perbedaan MA dan MK berikutnya adalah terkait pengujian yang ditangani. MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal ini selaras dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Sedangkan, perkara yang diuji MK yakni undang-undang terhadap UUD 1945, sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.