JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945 pada Rabu (26/7/2023). Agenda sidang yaitu Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 74/PUUXXI/2023 yang diajukan oleh Osea Petege, mantan Ketua KPU Kabupaten Dogiyai, Papua. Adapun norma yang diujikan yaitu Pasal 23 ayat (1), 28 ayat (1), 31 ayat (1), 32 ayat (1), 33 ayat (1), 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu.
Pasal 23 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Tim Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 melaksanakan tugasnya secara terbuka dengan melibatkan Partisipasi Masyarakat”.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Pemohon melalui kuasa hukumnya, Angela Claresta Foek, mengatakan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat (1) UU Pemilu harus dimaknai bahwa tim seleksi (timsel) bertugas menyeleksi calon anggota KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota yang profesional secara psikologis.
Selain itu, sambung Angela, konsep negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai dengan adanya hak bagi warga negara untuk memilih dan dipilih sebagai wakil dalam jabatan-jabatan politik penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu upaya untuk menjalankan praktik demokrasi tersebut ialah melalu proses pemilihan umum (pemilu) yang secara konstitusional dijamin dan ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.
Menurutnya, ketentuan tersebut menjadi landasan hukum bagi penyelenggaraan pemilu sebagai wadah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Oleh karena penyelenggaraan pemilu ditujukan sebagai sarana mengisi jabatan-jabatan politik yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan eksekutif, maka proses penyelenggaraan pemilu harus dilakukan melalui mekanisme, prosedur, dan penyelenggara yang berkualitas.
“Penyelenggara pemilu dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan lembaga yang secara khusus diberikan kewenangan untuk mengatur segala hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan pemilu, baik di tingkat pusat hingga daerah. Sehingga demikian, berbagai proses evaluasi untuk menjamin independensi, integritas, dan kapabilitas penyelenggara pemilu mampu menghasilkan proses pemilu yang berkualitas. Terlebih dewasa ini, penyelenggaraan pemilu marak dijumpai berbagai bentuk-bentuk penyimpangan termasuk yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU),” tegasnya.
Lebih lanjut Angela menerangkan, proses seleksi anggota KPU menjadi pintu gerbang untuk mewujudkan proses pemilu yang Luber dan Jurdil. Kegagalan untuk menghasilkan anggota KPU yang berintegritas di tingkat pusat sudah tentu akan berpengaruh dan mempengaruhi kualitas penyelenggara pemilu (KPUD) ditingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Angela juga menegaskan, pasal-pasal yang diujikan tersebut menyebabkan ketidaksetaraan terhadap akses kesempatan untuk menjadi anggota KPU khususnya anggota KPU Kabupaten/Kota karena seluruh mekanisme pencalonan, pemilihan, dan penetapan dilakukan secara sentralistik oleh Tim Seleksi yang berada di bawah kendali KPU (Pusat). Menurut Pemohon, tim seleksi dan proses pemilihan yang diselenggarakan oleh KPU Pusat untuk memilih calon anggota KPU Kabupaten/Kota memiliki karakteristik sentralisasi sehingga calon-calon KPU Kabupaten/Kota terpilih cenderung menjadi representasi pusat dan tidak memahami kondisi dan kekhususan yang terjadi pada masyarakat di daerah.
Berdasarkan dalil-dalil sebagaimana dikemukakan di atas, maka menurut Pemohon, Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu telah secara jelas dan nyata bertentangan dengan prinsip desentralisasi serta prinsip kesetaraan dan kesamaan kesempatan yang adil dalam berpartisipasi pada jabatan pemerintahan lokal (daerah) khususnya untuk menjadi anggota KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (4), Pasal 18A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (1) dan (3) UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan Pemohon untuk menelisik putusan-putusan MK terdahulu yang mempertimbangkan karakteristik kelembagaan penyelenggara pemilu. “Ada putusan 81/2011 tentang Kementerian, Lembaga Penyelenggara Pemilu, di sana ada putusan MK. Ada pula putusan 66/2017, hubungan antara KPU Pusat dengan KIP di Aceh, jadi dari dua putusan tersebut pemohon dapat mendalilkan karakteristik sentralistis atau desentralisasi kewenangan bagi KPU dan KPU Daerah dalam melakukan proses seleksi atau rekrutmen. Jadi coba nanti dilihat putusan itu 2011 dan 2017 tentang Kementerian Lembaga Pelaksanaan Pemilu. Nanti dipertajam oleh pemohon,” kata Wahiduddin menasihati.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta pemohon untuk menjelaskan kedudukan hukumnya. “Coba saya dijelaskan tadi kalau tidak salah dinarasi awal permohonannya mantan Ketua KPU Kabupaten Dogiyai. Posisi hari ini seperti apa, memang tidak aktif lagi sebagai penggiat kepemiluan atau memang masih mau berpartisipasi lagi?” tanya Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun permohonan yang diperbaiki, diterima MK paling lambat pada Selasa 8 Agustus 2023 pukul 10.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.