JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang Pengujian Materiil Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) terhadap UUD 1945 kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang adalah perbaikan permohonan Perkara Nomor 69/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Eliadi Hulu, Saiful Salim, Andreas Laurencius, dan Daniel Heri Pasaribu.
Para Pemohon menguji norma Pasal 23 ayat (1) UU 2/2008 yang berbunyi, “Pergantian kepengurusan Parpol di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART”.
Para Pemohon yang diwakili kuasanya Leonardo Siahaan dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut telah memperbaiki permohonannya. Perbaikan yang pertama yakni mempertegas perkara yang diajukan tidak ne bis in idem Putusan MK Nomor 53/PUU-XXI/2023.
“Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/2021 di mana pada ayat 1-nya menjelaskan terhadap materi muatan ayat dan pasal setidaknya tidak dapat dimohonkan kembali. Sedangkan pada putusan sebelumnya putusan MK Nomor 53 itu adalah pokok perkaranya Pasal 2, sedangkan kami adalah 23. Dari obyek saja sudah berbeda, Yang Mulia. Artinya itu sudah menjelaskan perkara kami bukan ne bis in idem,” tegas Leo.
Kemudian Leo menjelaskan, Andreas Laurencius (Pemohon III) dan Daniel Heri Pasaribu (Pemohon IV) merupakan anggota partai politik sebagaimana bukti terlampir. Sehingga menurut Leo, hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk legal standing yang jelas sebagaimana nasihat Majelis Hakim pada sidang sebelumnya.
Selain itu, Leo juga menyebut organisasi advokat dengan partai politik terdapat kesamaan sebagai organisasi walaupun memiliki karakter yang berbeda. Organisasi advokat merupakan organisasi profesi. Sedangkan partai politik merupakan organisasi politik yang keberadaannya berasal dari UUD 1945 yang merupakan pelaku demokrasi dan kedaulatan rakyat. Partai politik merupakan pelaku dari demokrasi di mana salah satu prinsip dan nilai adalah pembatasan masa jabatan.
“Kita bisa lihat pengaturan masa jabatan yang didelegasikan melalui AD/ART dengan terlebih dahulu telah ditetapkan dalam UU Partai Politik mengenai acuan bakunya yaitu 5 tahun dengan 2 periode akan menghilangkan keleluasaan bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan kesempatan untuk melanggengkan kekuasaan,” tegasnya.
Baca juga:
Masa Jabatan Ketua Umum Partai Politik Dipersoalkan
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 69/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Eliadi Hulu, Saiful Salim, Andreas Laurencius, dan Daniel Heri Pasaribu. Para Pemohon menguji norma Pasal 23 ayat (1) UU Parpol yang berbunyi, “Pergantian kepengurusan Parpol di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART”.
Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (11/7/2023) para Pemohon yang diwakili kuasa hukum Leonardo Siahaan mengatakan parpol harus memiliki suatu kejelasan terkait masalah pembatasan masa jabatan ketua umum parpol karena bagaimana pun juga parpol merupakan organisasi yang sangat sentral dan merupakan cerminan dari demokrasi ataupun pilar demokrasi. “Untuk itulah karena parpol merupakan sentral dari sebuah demokrasi, untuk itulah partai politik harus bisa mencerminkan pilar demokrasi tersebut,” ujar Leo.
Menurutnya, tidak ada kepastian hukum dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) masing-masing parpol mengenai pengaturan pembatasan masa jabatan dan periodisasi ketua umum parpol. Secara ideal dan berdasarkan preseden umum, pimpinan suatu organisasi diberikan kesempatan untuk memimpin selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak.
Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 23 Ayat (1) UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.