JAKARTA, HUMAS MKRI – Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dilakukan untuk mengharmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada. Tak hanya itu, perubahan tersebut juga menjawab kebutuhan hukum yang ada pada saat ini dalam upaya menjaga stabilitas perekonomian nasional saat ini dibutuhkan payung hukum yang jelas sebagai dasar pengambilan kebijakan oleh Pemerintah.
Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Supriansa dalam sidang lanjutan uji materiil UU Cipta Kerja yang berlangsung pada Kamis (13/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang kelima ini beragendakan mendengar keterangan DPR dan Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 yang terdiri atas 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja.
Supriansa mengungkapkan berdasarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-VIII/2020, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, pascaputusan a quo juga menyebabkan adanya kondisi norma yang tidak berdaya guna secara efektif. Selain itu, adanya kondisi ketidakjelasan atas keberlakuan Undang-Undang Nomor 11/2020 pascaputusan MK tersebut menimbulkan perselisihan pelaku usaha, pekerja, dan masyarakat terhadap hukum perekonomian, dunia usaha, dan investasi. Atas hal tersebut, yaitu dengan menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022.
“Dengan alasan-alasan demikian, maka sifat kegentingan memaksa atas penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tersebut telah terpenuhi. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 sebagai dasar hukum yang menyatakan Perppu Nomor 2/2022 menjadi satu perundang-undangan yang dilakukan DPR RI guna menghindari kekosongan hukum dan pembaruan atas kepastian hukum mengingat masa berlakunya perpres yang singkat apabila tidak disetujui oleh DPR RI untuk dapat dijadikan undang-undang. Seluruh proses ketenagakerjaan dengan prinsip check and balances antara presiden dan DPR RI, khususnya dalam hal adanya situasi-situasi ancaman yang sebagaimana diuraikan oleh Bapak Presiden hingga akhirnya DPR RI memiliki dua mekanisme dan prosedur berhak untuk menyetujui Undang-Undang Nomor 6/2023 tersebut,” terang Supriansa di hadapan sidang yang disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman.
DPR RI melalui Supriansa menyampaikan keterangan secara daring dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman bersama dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan hakim konstitusi lainnya. Bahwa sebagaimana disebutkan Pasal 71 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3), Supriansa mengatakan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. Sehingga pada pembahasan penetapan Perppu menjadi undang-undang pun dilakukan melalui dua tingkat persidangan, yakni persidangan Tingkat 1 dan Tingkat 2.
“Hanya saja pada pembahasan undang-undang secara umum dapat dilakukan pada satu periode dan mekanisme pembahasannya untuk dilanjutkan pada periode berikutnya. Sementara itu saat pembahasan penetapan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang sangat terkait dengan jangka waktu pembahasan yang berimplikasi pada pendeknya jangka waktu pembahasannya,” jelas Supriansa.
Pembentukan Satgas dan Masa Reses
Terkait pula dengan ketentuan mekanisme pembahasan Perppu menjadi udang-undang ini, Supriansa menjelaskan bahwa Pasal 96 ayat (1) UUP3 menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baik melalui lisan atau tulisan yang dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, atau seminar. Hasil konsultasi publik ini, sambung Supriansa, dijadikan bahan pertimbangan dalam rancangan pembahasan pada tahap lanjutan penyusunan hingga pengesahan menjadi undang-undang. Kemudian DPR mewujudkannya dengan membentuk satgas dalam penyusunan UU Cipta Kerja guna meningkatkan partisipasi bermakna masyarakat dalam hal hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapatkan penjelasan.
Bahwa pada 14 Februari 2023, DPR pun melakukan rapat pleno dengan mengundang unsur akademisi dan pada 15 Februari 2023 Badan Legislasi melakukan rapat untuk penetapan Perppu menjadi undang-undang dengan meminta persetujuan dari anggota panitia kerja. Diceritakan oleh Supriansa, memasuki masa persidangan ketiga yang ditutup pada 16 Februari 2023 dan sesuai penjadwalan rapat-rapat DPR, maka tidak terdapat waktu yang cukup untuk penjadwalan persidangan tingkat 2.
“Barulah usulan mengenai pengesahan Perppu ini dilaksanakan pada masa persidangan keempat yang dibuka pada 14 Maret 2023. Kemudian setelah masa penutupan ini DPR melaksanakan masa reses dari 17 Februari-13 Maret 2023. Pada masa reses inilah DPR dapat lebih utuh mendengar masukan dari masyarakat. Kemudian pada 14 Maret 2023 dilakukan rapat paripurna, dan 21 Maret 2023 dilakukan Rapat Paripurna dengan catatan 7 faksi setuju untuk mengundangkan dan 2 fraksi menolak. Selanjutnya Pemerintah menindaklanjuti dengan mengundangkan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang. Bahwa penerbitan Perppu dan proses penetapannya menjadi UU Cipta Kerja termuat dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut,” cerita Supriansa.
Tindak Lanjut Segera
Berikutnya pada keterangan DPR atas perkara ini, Supriansa menyebutkan diundangkannya Perppu ini dilakukan DPR guna menghindari kekosongan hukum dan memenuhi kepastian hukum karena masa berlakunya sebuah Perppu yang singkat. Dalam pandangan DPR, prosesnya telah sesuai dengan prinsip check and balances antara DPR dan Presiden. Oleh karenanya, DPR berhak untuk menyetujuinya menjadi undang-undang karena telah sesuai dengan kebutuhan hukum yang ada dan penyerapan aspirasi masyarakat.
Sebagai tambahan informasi, dalam sidang tersebut, seharusnya juga mendengarkan keterangan ahli. Namun keterangan ahli tersebut belum dapat diperdengarkan karena belum memenuhi syarat waktu penyerahan naskah keterangan sebagaimana ketentuan hukum acara MK, sehingga akan disampaikan pada sidang berikutnya. Sidang ini digelar untuk empat perkara sekaligus. Pertama, Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Kedua, Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) yang diwakili oleh Elly Rosita Silaban (Presiden Dewan Eksekutif Nasional) dan Dedi Hardianti (Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Nasional). Ketiga, Perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh 14 badan hukum. Keempat, Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh yang diwakili oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal dan Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarli.
Permohonan perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya, Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Para Pemohon juga mempertanyakan tentang persetujuan DPR RI atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Menurut para Pemohon, hal ini berarti sama halnya DPR RI menyetujui alasan kegentingan memaksa Presiden dalam menetapkan Perppu Cipta Kerja. Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Sementara itu, para Pemohon Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023 mengatakan pokok-pokok permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja yang berasal dari Perppu 2/2022 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 berdasarkan delapan alasan. Di antaranya, persetujuan DPR atas Perppu 2/2022 menjadi undang-undang cacat formil atau cacat konstitusi; Sidang DPR mengambil keputusan atas persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang tidak memenuhi kuota forum (kuorum); bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020; tidak memenuhi syarat ihwal kegentingan memaksa; tidak jelas pihak yang memprakarsai Perppu 2/2022; tidak memenuhi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; tidak memenuhi asas kejelasan rumusan; dan tidak memenuhi asas keterbukaan. Untuk itu, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja cacat hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Adapun permohonan Nomor 46/PUU-XXI/2023 diajukan oleh 14 badan hukum. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (16/5/2023) para Pemohon menyebutkan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Ketika Presiden menetapkan Perppu ini, DPR dalam masa reses masa persidangan untuk tahun sidang 2022/2023 yang dilaksanakan mulai 16 Desember 2022 hingga 9 Januari 2023. Lalu, DPR kembali menggelar masa persidangan yang dimulai sejak 10 Januari hingga 16 Februari 2023. Seharusnya, Perppu Cipta Kerja tersebut selambat-lambatnya harus disahkan dalam rapat paripurna pada 16 Februari 2023. Namun faktanya, Perppu tersebut baru mendapat persetujuan dan disahkan menjadi Undang-Undang pada 21 Maret 2023 dalam masa sidang 14 Maret sampai 13 April 2023. Dengan demikian, menurut para Pemohon telah terbukti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tidak mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang pertama yaitu selambat-lambatnya 16 Februari 2023.
Selanjutnya permohonan Nomor 50/PUU-XXI/2023 diajukan Partai Buruh yang diwakili oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal dan Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarli. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (23/5/2023) Pemohon mengatakan, UU P3 adalah hanya akal-akalan dari DPR untuk membenarkan Perppu yang kemudian disahkan menjadi UU Cipta Kerja. Bahwa penetapan UU Cipta Kerja tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tindakan Presiden dan DPR yang mengabaikan putusan MK jelas dan secara nyata bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki bahwa seluruh lembaga negara termasuk lembaga pembentuk undang-undang harus tunduk dan taat pada hukum (konstitusi) termasuk pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina