JAKARTA, HUMAS MKRI - Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI); Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI); dan Arkaan Wahyu Re A yang merupakan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengajukan uji Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ke Mahkamah Konstitusi. Sidang perdana Perkara Nomor 70/PUU-XXI/2023 yang mengujikan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan ini digelar pada Selasa (11/7/2023) di Ruang Sidang Panel MK dengan Majelis Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih.
Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyatakan “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: … d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.” Atas pasal tersebut, Dwi Nurdiansyah Santoso selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan jika Jaksa hanya menyidik perkara korupsi. Sebab, menurut para Pemohon, semestinya jaksa juga diberi wewenang untuk menyidik perkara kolusi dan nepotisme, sehingga semakin terwujud pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
“Para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum memgikat sepanjang tidak dimaknai ‘Kejaksaan mempunyai tugas dan berwenang melakukan penyidikan perkara korupsi, kolusi, dan nepotsme’,” sebut Dwi yang hadir menyampaikan ringkasan permohonan secara daring dari mini court room UNS bersama dengan kuasa hukum lainnya.
Mempersempit Kewenangan
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam nasihat Majelis Sidang Panel menyebutkan pada permohonan yang diajukan para Pemohon tidak menyinggung mengenai keberadaan norma uyang diujikan telah diujikan dan diputus MK pada beberapa perkara terdahulu, di antaranya pada 2007 dan 2012. “Selain itu pada Petitum para Pemohon menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan itu bertentangan dengan UUD 1945, tetapi pertentangan yang dimaksudkan itu sama sekali tidak terlihat pada permohonan,” jelas Wahiduddin.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan catatan nasihat mengenai kedudukan hukum dari organisasi yang mengajukan permohonan ini. Sebab pada permohonan belum diuraikan pihak dari organisasi yang berhak mewakili ke dalam dan luar pengadilan termasuk dalam pengajuan permohona ini ke MK. Selain kualifikasi para Pemohon yang terdiri atas badan hukum dan perseorangan warga negara, Enny juga menyatakan agar para Pemohon menguraikan kerugian hak konstitusional yang dialaminya yang telah dijamin oleh UUD 1945. “Lalu, apa pula yang menjadi anggapan kerugian dari para Pemohon atas berlakunya norma ini? Jika dibaca dari permohonan ini, belum terlihat uraian yang menjelaskan hal tersebut,” terang Enny.
Sementara itu, Ketua Panel Hakim Suhartoyo mengatakan bahwa pada hakikatnya norma yang diujikan masih utuh, hanya saja para Pemohon menginginkan adanya penambahan kewenangan untuk menyelesaikan perkara kolusi dan nepotisme. “Jika saat ini normanya menyatakan tindak pidana tertentu itu inkonstitusional karena tidak menyangkut kolusi dan nepotisme, ini akan memangkas kewenangan penyidikan perkara lainnya, misalnya perkara HAM berat dan korupsi yang tidak disebutkan secara eksplisit pada normanya. Kalau ditukar hanya kolusi dan nepotisme, sehingga yang lainnya hilang. Jadi perbaiki dengan argumen yang kuat,” saran Suhartoyo.
Pada akhir persidangan, Suhartoyo menyebutkan para Pemohon dapat menyempurnakan permohonan selambat-lambatnya hingga Senin, 24 Juli 2023 pukul 10.00 WIB. Naskah perbaikan dapat diserahkan para Pemohon melalui surat elektronik kepada Kepaniteraan MK. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim