JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang Pemeriksaan Pengujian Materiil Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (3/7/2023). Permohonan diajukan oleh Johannes Rettob yang merupakan Plt. Bupati Mimika.
Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, Pemohon yang diwakili kuasanya, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan telah memperbaiki penyebutan undang-undang dalam kewenangan MK terkait penyebutan UU Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, pihaknya juga telah memasukkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) terkait kewenangan MK dalam menguji undang-undang yang terdapat dalam Pasal 3 angka 1 PMK Nomor 2 Tahun 2021. “Pada bagian kedudukan hukum, pada angka 6 bagian ketiga kami telah menambahkan penjelasan kedudukan hukum Pemohon dimana Pemohon adalah wakil bupati terpilih yang berpasangan dengan Bupati Eltinus Omaleng pada Pilkada Serentak 2018 dan dilantik pada 6 September 2019. Pada masa periode 2019 sampai dengan 2024 berdasarkan surat keputusan Nomor 132.91-370 Tahun 2019 tentang Pengesahan Wakil Bupati Mimika. Namun karena Bupati Eltinus Omaleng menjalani proses hukum dan ditahan oleh KPK pada Desember 2022, Pemohon diangkat menjadi Plt. Bupati Mimika berdasarkan keputusan surat keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.91/5066/SJ tertanggal 16 September 2022 yang dilekati wewenang, tugas, hak, kewajiban, tanggung jawab sebagai kepala daerah in casu Plt. Bupati Mimika,” jelas Viktor salam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh,
Sementara pada bagian provisi, sambung Viktor, terdapat perbaikan perubahan alasan permohonan provisi karena pada bagian ini merupakan bagian terpenting selain pokok permohonan dan bagian petitum. Hal itu dikarenakan pemohon berharap MK dapat memberikan putusan sela secara cepat dan melakukan persidangan secara cepat karena itu pihaknya melakukan perbaikan permohonan hanya dengan menggunakan masa perbaikan 3 hari setelah sidang pendahuluan.
Baca juga:
Plt. Bupati Mimika Uji Pemberhentian Sementara
Untuk diketahui permohonan Nomor 60/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Johannes Rettob, Plt. Bupati Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah. Johannes melakukan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Adapun materi yang diujikan yaitu Pasal 83 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan, “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dalam persidangan yang digelar di MK pada Senin (19/06/2023), Johannes Rettob (Pemohon) yang diwakili kuasanya, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan Pemohon merupakan Plt. Bupati Kabupaten Mimika. Pada 1 Maret 2023, Pemohon didakwa dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi tetapi tidak ditahan. Kemudian, pengadilan mengeluarkan putusan sela yang pada pokoknya memutuskan dakwaan dari Kejaksaan Tinggi Papua batal demi hukum.
“Berikutnya, Kejaksaan Tinggi mengajukan dakwaan baru dengan nomor registrasi Nomor 9/Pid.Sus-TPK/2023/PN Jap tanggal 08 Mei 2023 dan Pemohon juga tidak ditahan, Yang Mulia. Jadi artinya dalam penalaran yang wajar pihak Kejaksaan pun tidak mengkhawatirkan Pemohon untuk melakukan hal-hal yang tidak kooperatif. Namun dalam upaya kedua, Kejati Papua mengajukan surat kepada PJ Gubernur untuk melakukan pemberhentian sementara. Padahal dalam dakwaan pertama itu Majelis Hakim meminta agar tetap melaksanakan tugasnya. Nah dalam konteks ini Kejati Papua mengajukan surat ke PJ Gubernur bahkan dalam poin ketiga dikatakan bahwa permohonan itu didasari bahwa terdakwa masih aktif memimpin daerah dan tidak melakukan penahanan sehingga diduga menggerakkan massa, membuat opini di media sosial gerilya mencari dukungan politik dan pembenaran atas perbuatannya. Ini kami memandang hanya sebatas asumsi,” terang Viktor.
Menurut Pemohon, Pasal 83 ayat (1) tidak membedakan keadaan terdakwa yang ditahan dengan terdakwa yang tidak ditahan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan mereduksi hak konstitusional Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Adapun dengan tidak ditahannya Pemohon dalam 2 (dua) kali dakwaan atas perkara tindak pidana korupsi, maka Pemohon dalam kondisi ini masih mempunyai hak dan kebebasan sebagai diri pribadi warga negara serta masih dapat menjalankan wewenang, tugas, kewajiban, dan tanggung jawab selaku Plt. Bupati Mimika untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah di Kabupaten Mimika.
Oleh karena itu, menurut Pemohon, selama proses pemeriksaan perkara a quo ini berjalan, MK perlu memberikan Putusan Sela dengan menyatakan menunda pemberlakuan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda terhadap terdakwa yang tidak dilakukan penahanan sampai adanya Putusan Akhir. Kemudian dalam pokok perkara, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: dikecualikan terhadap terdakwa yang tidak dilakukan penahanan.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Y.