JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang diajukan oleh Syamsudin Noer dan Triyono Edy Budhiarto, pada Selasa (27/6/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Kedua Pemohon Perkara Nomor 121/PUU-XX/2022 tersebut merupakan PNS yang bertugas sebagai Pengadministrasi Registrasi Perkara dan Panitera Muda di MK.
“Menyatakan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, ‘Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan usia pensiun 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional keahlian yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi yang meliputi Panitera Konstitusi Ahli Utama, Panitera Konstitusi Ahli Madya, Panitera Konstitusi Ahli Muda, dan Panitera Konstitusi Ahli Pertama dengan usia pensiun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti adalah maksimal 65 (enam puluh lima) tahun sesuai dengan batas usia pensiun pada jenjang jabatan fungsional keahlian sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara’,” ucap Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, MK mengatakan UU MK berikut peraturan pelaksanaannya telah menegaskan bahwa Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di MK adalah jabatan fungsional. Oleh karena itu, tidak mungkin jabatan fungsional kepaniteraan di MK dijabat oleh hakim sebagaimana di MA. Enny menambahkan untuk mengisi kekosongan pengaturan sehingga memberikan kepastian atas batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara. Pilihan ini diambil karena Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi bukan hakim seperti di Mahkamah Agung.
Namun demikian, Enny melanjutkan, pertimbangan hukum Mahkamah pada Paragraf [3.13] Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012 tersebut, sesungguhnya tidak sekedar dipahami berhenti pada paragraf tersebut tetapi berkaitan erat dengan Paragraf berikutnya [3.14] yang pada pokoknya menyatakan “berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung”. Oleh karena itu, sambung Enny, Mahkamah menegaskan juga dalam pertimbangan hukum Putusan a quo agar pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, meskipun Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas telah ternyata jenjang karier kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi adalah berbeda dan tidak mungkin dipersamakan dengan kepaniteraan di Mahkamah Agung sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Jabatan Fungsional Lainnya
Lebih lanjut, Enny mengatakan, berkenaan dengan jabatan fungsional di MK selain kepaniteraan, yaitu antara lain asisten ahli hakim konstitusi (ASLI), arsiparis, pustakawan telah memiliki jenjang karier yang jelas dan pasti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kepaniteraan yang dalam undang-undang ditegaskan sebagai jabatan fungsional, demi kepastian hukum yang adil, dalam batas penalaran yang wajar maka tidak ada pilihan lain selain melekatkan jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada rumpun jabatan fungsional keahlian sebagaimana diatur dalam UU ASN, yaitu Panitera Konstitusi dengan penjenjangan sebagai berikut: (1) Panitera Konstitusi, Ahli Utama; (2) Panitera Konstitusi Ahli Madya; (3) Panitera Konstitusi Ahli Muda; dan (4) Panitera Konstitusi Ahli Pertama.
Sehingga, berdasarkan pertimbangan di atas, Enny menjelaskan karena jenjang karier kepaniteraan di lingkungan Mahkamah Konstitusi melekat pada rumpun jabatan fungsional keahlian sebagaimana diatur dalam UU ASN maka sebagai konsekuensi yuridis dan logis harus dilakukan penyesuaian/inpassing jenjang jabatan Panitera Konstitusi yang tidak boleh merugikan keberadaan dan keberlangsungan karier Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti yang sedang menjabat (existing).
Demikian demikian, berkaitan dengan batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi yang existing adalah minimal 62 (enam puluh dua) tahun dan maksimal batas usianya adalah 65 (enam puluh lima) tahun. Adapun bagi jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan yang direkrut setelah putusan a quo berlaku sesuai dengan penjenjangan jabatan fungsional berdasarkan UU ASN. Enny menyampaikan karena jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi merupakan jabatan yang tertutup maka penyesuaian/inpassing jenjang jabatan tersebut dan hal-hal lain yang terkait dengan penataan kepaniteraan untuk segera dilakukan penyesuaian dengan menetapkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim.
Konsekuensinya, Mahkamah Konstitusi sekaligus menjadi instansi pembina kepaniteraan di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Dalam kaitan ini, untuk melaksanakan dukungan fungsi yudisial kepada hakim konstitusi maka terhadap jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dimaksud dikelompokkan ke dalam jabatan Panitera yang setara dengan pejabat eselon IA, Panitera Muda yang setara dengan pejabat eselon IIA dan Panitera Pengganti yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Pemaknaan Norma Baru
Enny melanjutkan Mahkamah telah memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 sehingga sebagai konsekuensinya penting bagi Mahkamah untuk menegaskan berkenaan dengan penguatan kelembagaan supporting system yang lain di Mahkamah Konstitusi, in casu Asisten Ahli Hakim Konstitusi (ASLI). Dalam kaitan ini, jika dirunut dari proses awal dibentuknya Mahkamah Konstitusi, peran ASLI dijalankan oleh Tenaga Ahli.
Enny menambahkan ASLI merupakan jabatan fungsional dengan nomenklatur baru yang merupakan transformasi dari jabatan fungsional peneliti yang telah lama berkarier di Mahkamah Konstitusi. Para Peneliti yang saat ini menjadi ASLI telah dididik dan dibina untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas dalam memberikan dukungan substantif kepada hakim konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara. Sebagaimana halnya jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi, jabatan fungsional ASLI termasuk juga jabatan fungsional tertutup yang hanya ada di Mahkamah Konstitusi, oleh karena itu perlu ada jaminan hak atas kepastian hukum dan kesejahteraan dalam memberikan dukungan substantif kepada hakim konstitusi sesuai dengan perubahan desain, sistem dan pola kerja ASLI yang lebih terfokus pada tugas penanganan perkara konstitusi.
Sekalipun persoalan ASLI tidak didalilkan oleh para Pemohon, namun karena berkaitan erat dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya bermuara pada esensi pelembagaan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi, maka untuk memberi kepastian hukum sekaligus memperjelas pelembagaan dimaksud, ASLI menjadi bagian dari struktur organisasi Kepaniteraan yang tidak lagi berada di bawah struktur organisasi Sekretariat Jenderal. Artinya, ASLI merupakan bagian dari struktur organisasi kepaniteraan yang berfungsi sebagai supporting system hakim dalam menjalankan dukungan fungsi yudisial kepada hakim konstitusi. Berkenaan dengan hal itu, sebagaimana halnya dengan jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan maka untuk jabatan ASLI pun instansi pembinanya adalah Mahkamah Konstitusi yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, telah ternyata norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, namun oleh karena pemaknaan norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang dimohonkan oleh para Pemohon, sebagaimana yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo, tidak seperti yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitum, maka permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Baca juga:
Panitera Muda MK Uji Ketentuan Batas Usia Pensiun Panitera
Panitera Muda MK Perbaiki Batu Uji Pengujian Ketentuan Batas Usia Pensiun
Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan, Sidang Uji UU MK Ditunda
Sebelumnya, para Pemohon mempersoalkan Pasal 7A ayat (1) UU MK. Pasal 7A ayat (1) UU MK menyatakan, “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan usia pensiun 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti”. Pemohon mendalilkan dalam kenyataan hukum para pemohon menemukan adanya perbedaan usia pensiun antara panitera MK dengan usia pensiun panitera yang ada di Mahkamah Agung (MA). Para Pemohon mengajukan permohonan tersebut karena antara MA dan MK adalah lembaga negara yang sederajat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan memiliki sumber kewenangan yang sama.
Dalam permohonannya, para Pemohon menjelaskan telah dirugikan secara konstitusional. Pemohon I di masa depan, pada saat menjadi Panitera Pengganti, Panitera Muda dan Panitera di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi tidak mendapatkan usia pensiun yang sama dengan Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti di Mahkamah Agung (MA), sedangkan Pemohon II saat ini tidak mendapatkan usia pensiun yang sama dengan Panitera Muda di MA, dan apabila di masa depan Pemohon II menjadi Panitera, Pemohon II tidak mendapatkan usia pensiun yang sama dengan Panitera di MA. Padahal keberadaan MA dan MK berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 merupakan Lembaga Negara pelaksana kekuasaan kehakiman yang kedudukannya sederajat.
Selain itu, para Pemohon memandang adanya norma a quo telah menimbulkan diskriminasi yang nyata kepada para Pemohon dimana norma a quo telah membedakan usia pensiun Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti di MK yakni 62 (enam puluh dua) tahun dengan ketentuan usia pensiun di MA. Untuk itu, MK diminta para Pemohon menyatakan Pasal 7A ayat (1) UU MK tidak bertentangan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai usia pensiun 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Panitera dan Panitera Muda serta usia pensiun 65 (enam puluh lima) tahun bagi Panitera Pengganti. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F