JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan Pengujian Materiil Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) tidak dapat diterima, pada Selasa (27/6/2023). Permohonan diajukan oleh oleh Leonardo Siahaan yang berprofesi sebagai karyawan swasta.
“Amar putusan, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan Putusan Nomor 52/PUU-XXI/2023 dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK menyatakan Pemohon telah dapat menjelaskan perihal hak konstitusionalnya yang menurut anggapannya dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 251 KUHD. Anggapan kerugian konstitusional yang dimaksudkan tersebut bersifat spesifik dan potensial terjadi. “Pemohon juga telah dapat menguraikan anggapan kerugian hak konstitusional yang memiliki hubungan sebab-akibat (causal verband) dengan berlakunya norma yang diujikan,” ujar Daniel.
Oleh karena itu, sambungnya, apabila permohonan a quo dikabulkan, anggapan kerugian konstitusional seperti yang dijelaskan tidak akan terjadi. Dengan demikian, terlepas dari terbukti atau tidaknya perihal inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon, menurut Mahkamah, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
Lebih lanjut Daniel menjelaskan, sistematika Perbaikan Permohonan dimaksud, pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Namun, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama bagian hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum) pada permohonan a quo, petitum Pemohon tersebut saling bertentangan antara satu dengan lainnya atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam perkara pengujian materiil undang-undang.
“Terhadap hal tersebut, dalam persidangan pada tanggal 12 Juni 2023, sekalipun bukan merupakan agenda untuk memberikan nasihat, namun oleh karena terdapat fakta ihwal ketidaklaziman petitum Pemohon, Mahkamah tetap memberikan nasihat untuk memperbaiki petitum agar sesuai dengan petitum yang berlaku di Mahkamah Konstitusi,” terangnya.
Dalam kaitan ini, petitum angka 2 menyebutkan, "Menyatakan Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat", dan petitum angka 3 menyebutkan, "Menyatakan Pasal 251 KUHD terhadap frasa 'sehingga perjanjian itu tidak akan ditiadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal' bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'sehingga perjanjian pertanggungan batal berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak atau berdasarkan putusan pengadilan".
Berkenaan dengan fakta tersebut, Daniel melanjutkan, Mahkamah perlu menegaskan bahwa rumusan kedua petitum a quo adalah rumusan petitum yang tidak lazim. Karena, di satu sisi, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sementara itu di sisi lain, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Dalam batas penalaran yang wajar, rumusan kedua petitum tersebut saling bertentangan satu sama lainnya dan Mahkamah tidak mungkin mengabulkannya secara bersamaan. Petitum yang demikian hanya dapat dibenarkan sepanjang satu sama lainnya dirumuskan secara alternatif. Secara formal, petitum-petitum yang demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas maka Mahkamah berpendapat, oleh karena petitum Pemohon tidak jelas, sehingga menjadikan permohonan a quo tidak jelas atau kabur (obscuur). Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena petitum Pemohon tidak jelas atau kabur sehingga tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut,” tegas Daniel.
Baca juga:
Perjanjian Asuransi dalam KUHD Dinilai Tak Adil
Pemohon Perbaiki Uji Polis Asuransi dalam KUHD
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 52/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) diajukan oleh Leonardo Siahaan yang berprofesi karyawan swasta. Leonardo Siahaan (Pemohon) mengujikan Pasal 251 KUHD yang menyatakan, “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal”.
Dalam persidangan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (29/5/2023), Leonardo menyampaikan alasan kerugian konstitusional yang potensial dialaminya. Ia berkeinginan membuat asuransi. Saat sedang mempelajari peraturan berkaitan asuransi, Leonardo membaca Pasal 251 KUHD.
“Setelah membaca dan menelusuri makna Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pemohon yang memiliki kekhawatiran terhadap diberlakukannya Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,” kata Leonardo.
Lebih lanjut Leonardo menerangkan, Pasal 251 rawan disalahgunakan pihak penanggung yang tidak memiliki itikad baik. Hal ini karena tertanggung sendiri masih banyak yang belum memahami konteks asuransi. Tak jarang penanggung membuat isi polis yang begitu panjang sehingga tertanggung tidak cukup waktu untuk membaca semua isi polis yang dibuat atau disodorkan oleh Penanggung.
Kemudian tak jarang pula isi polis menggunakan bahasa-bahasa yang terlampau tinggi sehingga sulit dipahami oleh tertanggung. Penanggung sengaja membuat bahasa-bahasa yang terlampau tinggi supaya polis yang dibuat lebih menguntungkan penanggung.
Menurut Leonardo, penerapan ketentuan Pasal 251 KUHD sebenarnya sangat tidak adil karena hanya membebani kewajiban kepada tertanggung saja. Seharusnya kedua belah pihak, tertanggung maupun penanggung mendapatkan kedudukan yang sama dalam perjanjian asuransi.
Oleh karena itu, Leonardo dalam petitumnya memohon MK mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Kemudian, memohon MK menyatakan Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.