JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan memisahkan uji formil dan menunda sidang uji materil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Sidang Pengucapan Ketetapan Nomor 40/PUU-XXI/2023 dilaksanakan pada Rabu (21/6/2023). Permohonan pengujian formil dan materil UU CIpta Kerja ini diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 pekerja.
Ketua MK Anwar Usman dalam persidangan mengatakan, MK telah menerbitkan Ketetapan Ketua MK tentang pembentukan Panel Hakim Nomor 40/PUU/TAP.MK/Panel/04/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 40/PUU-XXI/203 bertanggal 11 April 2023. Berikutnya Ketetapan Ketua Panel Hakim tentang Penetapan Hari Sidang Pertama.
Pemisahan Proses Pemeriksaan
Sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut pada 9 Mei 2023. Pada sidang tersebut telah pula diberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memisahkan permohonan pengujian formil dan materil. Namun, pada perbaikan permohonan, tetap terdapat penggabungan permohonan yang dimaksud. Berkenaan dengan hal tersebut, telah diklarifikasi pada persidangan 22 Mei 2023.
“Terhadap penggabungan ini berdasarkan Putusan MK 79/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada sidang pleno terbuka 4 Mei 2021 menyatakan “… dan dapat memisahkan proses pemeriksaan antara pengujian formil dan materiil bilamana Pemohon menggabungkan kedua pengujian tersebut dalam 1 (satu) permohonan…” sebut Anwar dalam Sidang Pleno yang digelar di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1, MK.
Tenggat Waktu
Selanjutnya, Anwar menyebutkan ihwal permohonan uji formil. Putusan MK Nomor 25/PUU-XX/2022 menyatakan tenggat waktu pemeriksaan perkara pengujian formil diselesaikan pemeriksaannya selama 60 hari sejak Presiden dan/atau DPR menyampaikan keterangan dalam sidang pleno pemeriksaan persidangan. Terhadap perkara-perkara yang secara substansial lebih kompleks dan rumit, sambung Anwar, maka perlu dilakukan pemisahan perkara antara pemeriksaan pengujian formil dan materil serta melakukan penundaan pemeriksaan permohonan pengujian materil. Karena penilaian konstitusionalitas norma undang-undang secara materil sangat tergantung dari terbukti atau tidaknya permohonan pengujian formil.
“Berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim pada 6 Juni 2023 telah memutuskan untuk memisahkan pemeriksaan pengujian formil dan materil dalam Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 serta menunda pemeriksaan pengujian materil sampai putusan perkara pengujian formil diucapkan oleh Mahkamah,” sampai Anwar.
Sebelum menutup persidangan, Anwar menyatakan sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada Kamis, 6 Juli 2023 pukul 11.00 WIB. Adapun agendanya yakni mendengar keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah.
Baca juga:
Ratusan Pekerja Tuding UU Cipta Kerja Permudah Mekanisme PHK
Ratusan Pekerja Perkuat Dalil Uji UU Cipta Kerja
Sebagai tambahan informasi, MK pada Selasa (9/5/2023) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian formil dan materil Pasal 80 dan 81 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Permohonan perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya, Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk.
Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Kemudian pasal-pasal yang diujikan tersebut pun bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja, menurut para Pemohon, menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
“Dengan didegradasi perlindungan hukum terhadap pekerja dari sebelumnya telah lebih baik diatur, berdampak pada banyaknya pemutusan hubungan kerja yang akan berujung pada meningkatnya pengangguran,” sebut Mustiyah selaku kuasa hukum para Pemohon.
Mustiyah menjelaskan, Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan memberikan waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tenggang waktu dua tahun yang diberikan merupakan waktu yang seharusnya dimanfaatkan oleh pembentuk undang-undang untuk sigap, taat, dan cekatan melaksanakan perintah putusan MK.
“Sudah sepatutnyalah Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas penetapan undang-undang a quo sebagai bentuk pembangkangan yang mencederai keagungan Mahkamah Konstitusi. Jika model begini dibiarkan, para Pemohon khawatir potensi lemahnya fungsi check and balances dan membuat ketidakpercayaan publik terhadap MK karena putusannya tidak berdaya di hadapan lembaga negara lain,” sebut Mustiyah.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Y.