JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Senin (19/06/2023). Permohonan perkara Nomor 60/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Johannes Rettob, Plt. Bupati Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah.
Adapun materi yang diujikan yaitu Pasal 83 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan, “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dalam persidangan yang digelar secara luring dan dipimpin oleh Panel Hakim Daniel Yusmic P. Foekh, Pemohon yang diwakili kuasanya, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan Pemohon merupakan Plt. Bupati Kabupaten Mimika, namun pada 1 Maret 2023, Pemohon didakwa dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi tetapi tidak ditahan. Kemudian, pengadilan mengeluarkan putusan sela yang pada pokoknya memutuskan dakwaan dari Kejaksaan Tinggi Papua batal demi hukum.
“Berikutnya, Kejaksaan Tinggi mengajukan dakwaan baru dengan nomor registrasi Nomor 9/Pid.Sus-TPK/2023/PN Jap tanggal 08 Mei 2023 dan Pemohon juga tidak ditahan, Yang Mulia. Jadi artinya dalam penalaran yang wajar pihak Kejaksaan pun tidak mengkhawatirkan Pemohon untuk melakukan hal-hal yang tidak kooperatif. Namun dalam upaya kedua, Kejati Papua mengajukan surat kepada PJ Gubernur untuk melakukan pemberhentian sementara. Padahal dalam dakwaan pertama itu Majelis Hakim meminta agar tetap melaksanakan tugasnya. Nah dalam konteks ini Kejati Papua mengajukan surat ke PJ Gubernur bahkan dalam poin ketiga dikatakan bahwa permohonan itu didasari bahwa terdakwa masih aktif memimpin daerah dan tidak melakukan penahanan sehingga diduga menggerakkan massa, membuat opini di media sosial gerilya mencari dukungan politik dan pembenaran atas perbuatannya. Ini kami memandang hanya sebatas asumsi,” terang Viktor.
Menurut Pemohon, Pasal 83 ayat (1) ini tidak membedakan keadaan terdakwa yang ditahan dengan terdakwa yang tidak ditahan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan mereduksi hak konstitusional Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Adapun dengan tidak ditahannya Pemohon dalam 2 (dua) kali dakwaan atas perkara tindak pidana korupsi, maka Pemohon dalam kondisi ini masih mempunyai hak dan kebebasan sebagai diri pribadi warga negara serta masih dapat menjalankan wewenang, tugas, kewajiban, dan tanggung jawab selaku Plt. Bupati Mimika untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah di Kabupaten Mimika.
Pemohon yang diangkat sebagai Plt. Bupati Mimika berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dilekati wewenang, tugas, hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai kepala daerah (in casu Plt. Bupati Mimika). Wewenang, tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tersebut tidak akan terganggu/terhambat oleh karena terhadap diri Pemohon tidak ditahan oleh aparat penegak hukum. Sehingga menurut Pemohn, selama proses pemeriksaan perkara a quo ini berjalan, maka Mahkamah Konstitusi perlu memberikan Putusan Sela dalam perkara a quo dengan menyatakan menunda pemberlakuan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda terhadap terdakwa yang tidak dilakukan penahanan sampai adanya Putusan Akhir. Kemudian, Pemohon juga meminta MK dalam Pokok Perkara menyatakan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat sepanjang tidak dimaknai: dikecualikan terhadap terdakwa yang tidak dilakukan penahanan.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul meminta Pemohon untuk mencantumkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) pada kewenangan MK. “Saya sarankan di kewenangan MK juga dicantumkanlah itu PMK 2/2021 itu,” kata Manahan. Selain itu, Manahan mengatakan dalam permohonan provisi alasan apa yang mendesak Pemohon agar dapat mempertimbangkan MK untuk dapat mengabulkan itu apabila ini dianggap kepentingan yang mendesak, bukan hanya kepada Pemohon tetapi juga kepentingan yang erga omnes itu,” katanya.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan Pemohon untuk mengelaborasi lebih jauh terkait dengan risalah pembahasan. “Apakah di risalah itu memang bicara terkait dengan disangkakan itu hanya untuk bupati saja atau juga termasuk Plt nya. Itu nanti perlu diperkuat di dalam risalah. Kemudian perlu juga mungkin perkuat dengan pendapat ahli terkait masalah ini apakah dalam buku, jurnal atau dunia lainnya bisa diperkuat. Mungkin juga perlu perbandingan dengan negara lain. Karena kan norma ini tidak berdiri sendiri dikaitkan dengan KUHAP kewenangan penyidik itu. Elaborasi diperkuat, saya kira itu,”ujar Daniel.
Sebelum menutup persidangan, Daniel Yusmic menjelaskan bahwa Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan diserahkan ke Kepaniteraan MK paling lambat pada Senin, 3 Juli 2023.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.