JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) kembali diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini sejumlah federasi dan serikat pekerja tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023. Sebanyak 15 serikat pekerja mendalilkan UU Cipta Kerja cacat secara hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu (31/5/2023) tersebut, Alif Fachrul Rachmad selaku kuasa Pemohon menyampaikan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
“Itulah sebabnya dalam pengujian formil yang kami ajukan selain merujuk ke UUD 1945 juga harus merujuk ke UU P3 sebagai batu uji. Melalui forum terhormat ini, para pemohon mengajukan pengajuan formil UU Cipta Kerja terhadap ketentuan Pasal 22 UUD 1945 serta penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU P3,” jelas Alif.
Alif melanjutkan Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerja—yang semula merupakan Perppu Cipta Kerja—disahkan dalam masa reses. Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.
“Permasalahan pokok yang menjadi persoalan dalam pengujian formil kali ini ialah proses pembentukannya yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 22 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa suatu perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, jika tidak disetujui maka perppu harus dicabut. Apa yang dimaksud makna persidangan yang berikut, jika kita melihat penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU tentang P3 menjelaskan bahwa persidangan yang berikut adalah masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan,” terang Alif dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Panel Hakim M. Guntur Hamzah didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh tersebut.
Kemudian Alif menambahkan masa sidang berikutnya setelah Perppu Cipta Kerja lahir adalah Masa Sidang III Tahun 2022/2023 yang dimulai pada 10 Januari 2023 dan berakhir pada 16 Februari 2023. Menurut Pemohon, pada Masa Sidang III tersebut seharusnya Perppu Cipta Kerja mendapat persetujuan dari DPR sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 juncto Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU P3. Pada Masa Sidang III Tahun 2022/2023 tersebut, Perppu Cipta Kerja tidak mendapatkan persetujuan dari DPR, baru mendapatkan persetujuan pada 21 Maret 2023 (di luar Masa Sidang III 2022/2023). Jika berpegang teguh pada ketentuan norma di atas, maka Perppu Cipta Kerja yang tidak mendapat persetujuan pada masa sidang I DPR harus dicabut dan dengan sendirinya juga kehilangan validitas keberlakuan serta tidak lagi dapat disahkan oleh DPR untuk menjadi UU.
Alif menambahkan limitasi atau batasan waktu yang tertuang dalam Pasal 22 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 juncto Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU P3 mengenai pemberlakuan perppu sejatinya telah selaras dengan konsep hak presiden dalam memberlakukan perppu, yakni dalam kegentingan yang memaksa sehingga butuh secepatnya pada kesempatan yang sama untuk disahkan menjadi undang-undang. Dengan demikian, sambung Alif, jika ada yang menyatakan Perppu Cipta Kerja masih berlaku karena persetujuan DPR di Rapat Paripurna dapat dilakukan pada masa sidang IV Tahun 2023, dapat dipastikan pernyataan tersebut adalah pernyataan yang sesat, keliru, dan menyimpangi hukum.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menjelaskan, ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia merupakan alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sangat tidak beralasan. Pemohon juga menegaskan pada permohonannya bahwa tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat. Terakhir, regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati. Maka lebih berbahaya lagi, tidak melaksanakan putusan MK berarti melanggar konstitusi adalah constitutional organ yang eksistensi dan fungsinya diatur dalam UUD 1945. Pelanggaran konstitusi adalah salah satu definisi “pengkhianatan terhadap negara” yang membuka pintu bagi proses pemakzulan presiden (impeachment). Sehingga Para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan tersebut.
Saran Perbaikan Permohonan
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan dalam menjelaskan adanya kerugian hak konstitusional pemohon itu tidak kemudian serta merta hanya sekedar menyampaikan visi dan misi saja. Akan tetapi, Pemohon harus bisa menjelaskan kerugian hak konstitusional yang dirugikan.
“Artinya subjek hukumnya oke, meskipun nanti MK harus melihat betul apakah Pemohon-Pemohon yang ada di sini yang kemudian memberikan kuasa kepada para kuasa hukum ini adalah subjek hukum yang dalam AD/ART-nya adalah betul-betul subjek hukum yang bisa mewakili kepentingan organisasi baik di dalam maupun di luar pengadilan. Itu baru satu. Harus dilengkapi lagi unsur yang lain apa harus ada anggapan kerugian konstitusional. Anggapan kerugian konstitusional harus diuraikan tidak hanya menguraikan visi dan misi atau fungsi dan tujuan organisasi tetapi harus diuraikan dengan fungsi dan tujuan seperti ini dan dengan visi dan misi seperti ini hak konstitusional apa yang dirugikan,” terang Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan Pemohon memperkuat dan memperjelas kerugian konstitusional yang dialami dengan berlakunya UU Cipta Kerja. “Di situ saya melihat yang diungkap itu adalah kerugian materiil, ini pengujian formil apakah ada kerugian terkait prosedur yang terjadi ini tentu diperjelas karena saya menangkap sepertinya untuk argumentasi uji materiil relevan tetapi untuk argumentasi uji materiil relevan, tetapi apakah itu juga relevan untuk uji formil sebagaimana permohonan pemohon ini. Nah itu juga harus dipastikan kembali,” jelas Guntur.
Sebelum menutup persidangan, Guntur menegaskan Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan diserahkan paling lambat pada Selasa, 13 Juni 2023 pukul 10.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina