JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) pada Selasa (23/5/2023). Sidang Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023 ini diajukan Partai Buruh yang diwakili oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal dan Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarli.
Dalam persidangan yang digelar secara luring, Said Iqbal menyampaikan dari awal pembentukan maupun diskusi-diskusi yang berkembang terhadap isu perppu yang terkait dengan UU Cipta Kerja sampai juga di pembahasan DPR. Pihaknya berpendapat UU P3 adalah hanya akal-akalan dari DPR untuk membenarkan perppu yang kemudian disahkan menjadi UU Cipta Kerja. “Dalam prosesnya ternyata terbukti tidak pernah satu kalipun kami diundang dan hanya berdasar UU P3 yang sudah disahkan terdahulu maka mereka menyatakan proses pembuatan UU Nomor 6/2023 yang mengesahkan Perppu Nomor 2/2022 sudah sesuai. Oleh karena itu, kami para buruh khususnya di ketenagakerjaan dan petani sangat dirugikan dalam mekanisme pembuatan UU tersebut karena tidak satupun pokok-pokok gagasan kami yang diterima,” terangnya.
Dikatakan Said, pada satu kali pertemuan secara informal dengan kalangan pengusaha yang bergabung di IKADIN dan hasil pertemuan itu ada semacam rekomendasi yang dipahami oleh kedua belah pihak. Hasil kedua pihak tersebut kemudian disampaikan kepada pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Menko Perekonomian. Tetapi apa daya semua hasil rekomendasi pembahasan para pihak yang sebenarnya berkepentingan di dalam UU Cipta Kerja tidak ada satu pun yang menjadi pokok-pokok pikiran diterima oleh DPR RI untuk diajukan uji publik bahkan langsung disahkan.
Dengan demikian, sambungnya, Partai Buruh memohon agar MK membatalkan proses pembentukan UU Cipta Kerja. “Karena kami dirugikan tidak pernah terlibat bahkan hasil diskusi dengan kawan-kawan pengusaha IKADIN diabaikan,” tegasnya.
Sementara dalam permohonannya, Partai Buruh (Pemohon) menjelaskan penetapan UU Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tindakan Presiden dan DPR yang mengabaikan putusan MK jelas dan secara nyata bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki bahwa seluruh lembaga negara termasuk lembaga pembentuk undang-undang harus tunduk dan taat pada hukum (konstitusi) termasuk pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Menurut Pemohon, tidak taatnya pembentuk undang-undang terhadap Putusan MK menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan. Maka kekhawatiran yang disampaikan Ryan Emenaker (2013) bahwa putusan final and binding peradilan hanyalah sebuah mitos -“judicial finality is a myth”- akan benar-benar terjadi (bahkan sudah terjadi). Inilah wujud nyata konstitusionalisme semu, tumpulnya fungsi checks and balances peradilan konstitusi terhadap kekuasan eksekutif dan legislatif. Konsekuensinya sangat mahal, prinsip rule of law, demokrasi konstitusional dan hak-hak konstitusional warga negara bisa tergadaikan. Akumulasi dari semua itu, akan bermuara pada lahirnya unconstitutional dictatorship.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan Partai Buruh, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan dari sisi perumusan uraian permohonan kelihatan sudah rapi, mudah dipahami. Akan tetapi, Enny meminta Pemohon untuk memperkuat legal standing pemohon “Ada hal yang perlu digarisbawahi soal sesungguhnya siapa Pemohon ini. Pemohonnya Partai Buruh, bukan lagi federasi. Ini sudah Partai Buruh. Jadi, entitasnya Partai Buruh, yang pokoknya itu partai buruh jadi sudah membawa Partai Buruhnya, yang dimintakan standingnya itu Partai Buruh. Ini yang harus kuat di sini. Tolong nanti ditambahkan penguatan terutama pertautan kepentingan langsung dan tidak langsung Partai Buruh. Dari sisi AD/ART apa yang bisa memperkuat pertautan dari Partai Buruh,” saran Enny.
Kemudian, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul juga menyarankan pemohon untuk menguraikan perppu yang terdahulu dengan perppu yang ada saat ini. Selain itu, pada bagian petitum, Manahan mengatakan petitum telah dipedomani PMK dalam permohonan ini. “Tolong uraikan apa perbedaan-perbedaan atau hal yang menyangkut kepentingan buruh apakah ada yang dilonggarkan atau lebih diketatkan,” ujarnya.
Sebelum persidangan ditutup, panel hakim memberikan kesempatan kepada Pemohonuntuyk melakukan perbaikan permohonan. Selanjutnya hasil perbaikan tersebut disampaikan ke Kepaniteraan MK pada Senin, 5 Juni 2023 paling lambat pukul 14.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Y.