JAKARTA, HUMAS MKRI - Aturan mengenai pembentukan Komite Fatwa Produk Halal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Indonesia Halal Watch tercatat sebagai Pemohon Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 49/PUU-XXI/2023. Sidang perdana untuk perkara tersebut digelar pada Rabu (17/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 48 angka 1, Pasal 48 angka 19, Pasal 48 angka 20 dan Pasal 48 angka 32 UU Cipta Kerja telah mengubah sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Pasal-pasal dalam UU JPH yang diubah, yakni Pasal 1 angka 1 butir 10, Pasal 33A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 63C ayat (1) dan ayat (2). Diwakili Syaeful Anwar sebagai kuasa hukum, Pemohon menilai pengubahan pasal-pasal dalam UU JPH yang diejawantahkan dalam UU Cipta Kerja melanggar hak konstitusional Pemohon.
“Dalam alasan permohonan kami bahwa dengan pasal-pasal yang merupakan perubahan norma dan juga penambahan norma maka pemohon melihat bahwa telah ada pergesersan yang semula Indonesia itu menganut paradigma simbiotik, maka telah terjadi menjadi paradigma integralistik. Sehingga karena itu, pasal-pasal yang sebagaimana disebutkan di dalam permohonan itu adalah telah bertentangan dengan Pasal 28D, Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,” ujar Anwar dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah tersebut.
Pemohon menilai keberadaan Pasal 48 angka 1, Pasal 48 angka 19, Pasal 48 angka 20 dan Pasal 48 angka 32 UU Cipta Kerja menciptakan dualisme lembaga sertifikasi halal. Semula lembaga yang berhak menerbitkan sertifikasi halal hanya dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana diatur dalam UU JPH. Akan tetapi, dengan adanya pasal-pasal yang diuji, muncul lembaga lain yang dapat menerbitkan sertifikasi halal, yakni Komite Fatwa Produk Halal di bawah kewenangan Kementerian Agama.
“Dari sini kemudian terdapat dualisme yang sangat merugikan Pemohon. Komite Fatwa Halal ini menimbulkan tidak adanya kepastian hukum termasuk di dalamnya fatwa halal yang dibentuk atau diterbitkan oleh Komite Fatwa Halal sebagaimana undang-undang Ciptaker. Tidak ada kepastian hukum karena produk yang diterbitkan oleh Komite Fatwa Halal berada di bawah Kementerian Agama,” terang Anwar.
Menurut Pemohon, fatwa halal yang diterbitkan oleh MUI bersifat final, karena penerbitan fatwa halal merupakan kewenangan dari lembaga keagamaan, yaitu MUI. Sedangkan Komite Fatwa Produk Halal yang dibentuk oleh Pemerintah dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri, in casu Kementerian Agama Republik Indonesia. Hal ini berakibat penerbitan sertifikasi halalnya masuk dalam kualifikasi objek TUN. Anwar menambahkan hal tersebut justru akan menjadi “masalah” jika perkara mengenai sertifikasi halal diperiksa oleh PTUN karena hakim PTUN tidak familiar dengan terminologi dan usul fikih, Al Qur’an dan hadits Nabi yang merupakan batu uji halal atau haram suatu produk.
Secara normatif maupun data sebagaimana tersebut di atas, sambung Anwar, berkaitan dengan UU JPH, tidak ditemukan adanya “keadaan atau kegentingan yang memaksa di bidang serfikasi halal”. Dengan demikian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan perubahan norma sebagaimana tersebut di atas seluruhnya bertentangan dengan UUD 1945.
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan Pemohon, Panel Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan saran perbaikan. Manahan menyarankan kepada Pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum Indonesia Halal Watch dalam permohonan. Kemudian ia juga meminta Pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami akibat berlakunya undang-undang yang diujikan. “Apakah ada sebab akibat karena berlakunya norma ini sehingga menimbulkan kerugian. Harus ada causa verband-nya,” terang Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon untuk mencermati bahwa undang-undang yang diuji menganut omnibus law yang menggabungkan sejumlah undang-undang. Untuk itu, ia meminta agar Pemohon menguraikan dengan jelas argumentasi permohonan karena dinilai agak membingungkan. “Tadi dari penjelasan singkat kami menangkap substansinya. Tapi bagaimana menguraikannya dalam permohonan ini,” saran Daniel.
Kemudian Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah selaku Ketua Panel meminta Pemohon untuk mempertimbangkan petitum yang meminta agar Mahkamah menghapus ketentuan yang diuji. Menurutnya, jika ketentuan yang diuji dihapus, maka akan menghilangkan landasan hukum dan lembaga yang dapat menerbitkan sertifikasi halal.
“Kalau permohonan ini di petitumnya dikabulkan, maka ini menghilangkan norma itu. Rencananya ingin ada kepastian hukum supaya tidak overlapping dalam penentuan produk halal, maka bisa kehilangan landasan. Jika dihilangkan, maka bagaimana dasarnya apa dan siapa yang akan menerbitkan sertifikasi halal,” jelas Guntur.
Sebelum menutup persidangan, Guntur menyampaikan kepada Pemohon agar memperbaiki permohonan selambatnya 14 hari kerja. Perbaikan permohonan diterima oleh Kepaniteran MK selambatnya pada Selasa, 30 Mei 2023.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina