JAKARTA, HUMAS MKRI – Dua orang Mahasiswa Universitas Internasional Bintan mempermasalahkan konstitusionalitas aturan mengenai pilihan kegiatan konsultasi publik dalam pembentukan undang-undang. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 96 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Albert Ola Masan Setiawan Muda dan Andrew Chua tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 44/PUU-XXI/2023. Sidang perdana perkara tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (11/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Pasal 96 ayat (6) UU P3 menyatakan, “Untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui (a) rapat dengar pendapat umum; (b) kunjungan kerja; (c) seminar, lokakarya, diskusi; dan/ atau (d) kegiatan konsultasi publik lainnya.”
Risky Kurniawan selaku kuasa hukum menyampaikan para Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 96 ayat (6) UU P3. Menurut Pemohon, Risky Kurniawan selaku kuasa para Pemohon mengatakan Pasal 96 ayat (6) terutama kata “dapat” dinilai tidak menempatkan pemenuhan kewajiban sebagai kewajiban melainkan sebagai opsional. Sehingga para Pemohon menilai agar pemenuhan kewajiban untuk menyediakan ruang partisipasi bagi masyarakat benar-benar tercapai, maka kata “harus” diganti dengan kata “wajib”. Secara lebih konkret para Pemohon menganalogikan dengan keberadaan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena cacat formil akibat kurangnya partisipasi masyarakat.
“Maka pada kesimpulannya frasa ‘wajib’ lebih efektif digunakan dalam Pasal 96 ayat (6) UU P3. Sebab partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sangat berkaitan dnegan nilai demokrasi. Oleh karenanya, partisipasi rakyat harus dikerahkan sevcara penuh sebagaimana termuat dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945,” sebut Risky yang hadir langsung di Ruang Sidang Pleno MK.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. “Memohon kepada Majelis Hakim menyatakan Pasal 96 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang frasa ‘dapat’ diubah dengan frasa ‘wajib’,” tandas Risky.
Alasan Permohonan
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menyarankan agar para Pemohon memperdalam substansi permohonan mulai dari kewenangan Mahkamah, alasan-alasan permohonan yang belum menggunakan dasar pengujian dari UUD 1945 yang dipertentangkan dengan norma yang diujikan, hingga petitum yang diajukan kepada MK. “Kata ‘dapat’ dan kata ‘wajib’ itu mana yang lebih tepat atas pengujian norma ini, wajib bisa bermakna terpenuhi sepenuhnya semua, jika tidak ada maka tidak sah undang-undang ini,” jelas Manahan.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan catatan tentang bukti-bukti terkait dengan dalil yang diajukan para Pemohon atas kerugian yang dialaminya. “Apakah kemudian hal tersebut benar-benar terkait dengan undang-undang ini. Alasan permohonannya pun belum kuat dan diharapkan teori atau asas atau perbandingan di negara lain tentang partisipasi masyarakat yang dibuatkan dasarnya yang mungkin saja diterapkan oleh negara lain di dunia. Sebab undang-undang merupakan produk hukum dan politik dari pembuat undang-undang. Jika benar-benar partisipasi masyarakat itu dinyatakan wajib termasuk diskusi, kegiatan konsultasi publik lainnya, coba uraikan dalam praktiknya,” urai Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan nasihat soal perihal yang diharapkan dapat dibuat spesifik. Selain itu, ia juga meminta agar para Pemohon mencermati beberapa uraian mengenai kewenangan MK atas perkara serta kualifikasi Pemohon dalam pengajuan permohonan hingga anggapan kerugian berkenaan dengan berlakunya norma yang diujikan.
Pada akhir persidangan, Enny menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan kepada Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Rabu, 24 Mei 2023 pukul 13.30 WIB. Sidang selanjutnya akan diinformasikan oleh Kepaniteraan MK kepada pihak Pemohon. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha