JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan penyediaan tenaga listrik sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 dan 42 Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Perkara Nomor 39/PUU-XXI/2023 ini digelar pada Senin (8/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini dimohonkan oleh 10 serikat pekerja yang terdiri dari Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali dan 109 perseorangan lainnya.
Para pemohon yang diwakili oleh Mohammad Fandrian Hadistianto selaku kuasa hukum dalam persidangan menyampaikan UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi atau unbundling. Sebelum diubah oleh UU a quo Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) telah ditafsirkan secara konstitusional melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 dan UU Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK pada 21 Desember 2004 dengan putusan perkara 001-021-022/PUU-I/2003. Kedua UU tersebut diputuskan karena pengaturan sistem unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun sistem unbundling ini kembali dihidupkan kembali dalam UU Cipta kerja.
“Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (2) UU a quo mengatur empat jenis usaha tersebut diatas dapat dilakukan secara terintegrasi. Hal ini berarti pasal a quo membuka kemungkinan dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dapat dilakukan secara terintegrasi atau tidak terintegrasi. Jelas pasal a quo bermaksud membuka kemungkinan pelaksanaan usaha penyediaan usaha tenaga listrik untuk dilakukan dengan tidak terintegrasi dan terpisah-pisah atau unbundled. Alih-alih menindaklanjuti putusan MK terhadap tafsiran konstitusional yang telah MK berikan dan agar adanya kepastian hukum mengenai makna konstitusional norma Pasal 10 ayat (1) tersebut UU a quo juga justru menerbitkan kembali norma yang sama dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D UUD 1945,” tegas Fandrian.
Menurutnya, substansi Pasal 10 ayat (2) UU Cipta Kerja sama dengan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015. Selain itu, ia juga menjelaskan tenaga listrik yang mana merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hak hajat hidup orang banyak telah ditegaskan oleh pembuat UU Ketenagalistrikan sebagaimana tertera dalam konsideran menimbang huruf a dan penjelasan Pasal 3 ayat (1). Kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang telah terpisah atau unbundled adalah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana pula merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003.
Selain itu, para Pemohon menjelaskan beberapa alasan permohonan seperti UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi (unbundling). Sistem unblunding yang dimaksud adalah pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan listrik sebagai barang jualan. Pemohon menegaskan usaha ketanagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang terpisah adalah bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan dalam membuat permohonan harus lengkap. “Jadi tidak sekadar melempar isu konstitusional ini begini lhoo, pemohon harus bersimulasi jadi hakim sekaligus. Sehingga permohonan itu bisa sempurna karena kalau hanya sekedar melempar isu konstitusional hakim bisa saja berpendapat lain. Jadi dalam permohonan saudara berupaya menyakinkan hakim supaya permohonan ini dikabulkan karena saya sudah mensimulasikan sekaligus menjadi pemohon dan hakim. Sehingga permohonan ini sempurna,” terang Arief Hidayat.
Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan karena permohonan ini mengusung isu besar, maka agar argumentasi terkait alasan-alasan permohonan harus diperbaiki. Menurutnya, seharusnya alasan-alasan permohonan berkaitan dengan petitum permohonan.
Sementara itu, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyinggung mengenai pengujian Pasal 38 UU Cipta Kerja yang diujikan oleh Pemohon, namun dalam dalil-dalil permohonan dan petitum tidak lagi disebutkan mengenai Pasal 38 UU Cipta Kerja. “Dipelajari lagi apakah Pasal 42 saja atau dengan Pasal 38 juga,” ucap Saldi.
Menurut Saldi, para Pemohon tidak menguraikan jelas mengenai kerugian konstitusional yang dideritanya. Ia menilai dalam permohonannya, para Pemohon lebih banyak mendalilkan siapa Pemohon ketimbang kerugian konstitusionalnya.
“Tapi dimana kerugian konstitusionalnya, belum diuraikan dengan baik. Kalau dalam menjelaskan legal standing itu hakim tidak meyakini terdapat kerugian konstitusional atau hakim tidak melihat ketersambungannya dengan potensi kerugian, ini akan berhenti di-NO-kan di legal standing,” urai Saldi.
Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan permohonan selambatnya diterima Kepaniteraan MK pada Senin, 22 Mei 2023 pukul 13.30 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina