JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjadi pemateri kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan VIII kerja sama DPC Peradi Jakarta Barat dengan Universitas Bina Nusantara pada Sabtu (6/5/2023). Di hadapan sekitar 200 peserta kuliah yang terbagi dalam luring maupun daring ini, Daniel membahas materi berjudul “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
Daniel mengatakan kekuasaan kehakiman di Indonesia sebelum amendemen UUD 1945 puncak peradilan hanya berada pada Mahkamah Agung (MA). Namun setelah amendemen, muncul Mahkamah Konstitusi (MK) yang posisinya sejajar dengan MA sebagai lembaga peradilan di Indonesia. Kewenangan MK ini diejawantahkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Adapun kewenangan MK diatur lebih lanjut oleh Peratutan Mahkamah Konstitusi (PMK), yakni menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan pemilihan umum. Selain itu, dalam perkembangannya MK juga mendapatkan kewenangan tambahan untuk menyelesaiakan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Adapun aspek-aspek umum dalam hukum acara MK, terang Daniel yaitu pengajuan permohonan, alat bukti, persidangan, dan putusan. Untuk pengajuan permohonan diajukan dalam bentuk tertulis dalam bahasa Indonesia dengan beberapa ketentuan pengajuan permohonan lainnya dan dalam pengajuan tidak dipungut biaya. Sehubungan dengan alat bukti dapat berupa tulisan dalam surat, keterangan saksi, para pihak, dan alat bukti lain berupa informasi yang dapat disimpan secara elektronik. Berikutnya terkait dengan persidangan terdiri atas Sidang Pendahuluan berbentuk Sidang Panel, kemudian sidang pemeriksaan persidangan berbentuk pleno yang dihadiri 9 hakim atau minimal 7 hakim.
“Jika di bawah 7 haklim, maka sidang tidak dapat dilaksanakan dalam bentuk pleno dan selanjutnya untuk pelaksanaan hari sidang, para pihak dapat mengikuti sidang secara daring dan luring. Selain itu, para pihak juga dapat melakukan pengajuan persidangan jarak jauh sesuai PMK Nomor 1 Tahun 2021 dengan video conference dari universitas terdekat,” jelas Daniel.
Terkait dengan Putusan MK, Daniel menegaskan, tidak ada upaya hukum setelahnya dan putusan MK memilliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum sesuai dengan Pasal 47 UU MK. Bahkan, para pihak dapat membaca putusan dengan lengkap 15 menit setelah putusan dibacakan pada laman resmi MK di mkri.id. Berikutnya, katanya, sebagaimana dimaksud pada kewenangan MK, maka objek dan jenis pengujian yang dilakukan di MK adalah UU dan Perpu dalam bentuk pengujian formil dan materiil. Dalam pengujian formil termuat batasan waktu pengajuan yakni 45 hari setelah dimuat dalam Lembaran Negara, dan bagi MK terdapat batasan waktu penyelesaian 60 hari kerja sejak perkara tersebut tercatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Sedangkan untuk pengujian materiil maka yang dapat diujikan adalah muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU/Perppu yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Daniel juga memaparkan praktik hukum acara MK, digunakan istilah “permohonan” bukan gugatan seperti dalam praktek hukum acara perdata karena lebih bernuansa kepentingan umum dan tidak mengandung sengketa kepentingan yang bersifat contentiosa. Sehingga DPR, Pemerintah, termasuk pula DPD bukanlah lawan Pemohon, melainkan hanya pemberi keterangan atas norma yang dipersoalkan Pemohon. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.