JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu (3/5/2023). Permohonan diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan sejumlah perseorangan warga negara Indonesia. Para Pemohon mendalilkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Agenda sidang kali ini yakni pemeriksaan perbaikan permohonan Nomor 29/PUU-XXI/2023. Melalui Francine Widjojo, para Pemohon menyampaikan poin perbaikan permohonan, di antaranya menambahkan ketentuan berupa Perppu 1/2022 sebagai objek permohonan karena Perppu tersebut telah disahkan pada rapat paripurna DPR RI pada 2022 lalu. Berikutnya para Pemohon juga telah menegaskan legal standing Pemohon I yang terkait dengan partai politik yang tidak lolos administrasi dan Pemohon II – V yang merupakan perseorangan warga negara yang belum pernah mengikuti pencalonan presiden dan wakil presiden.
“Tidak ada penjelasan kriteria pemimpin yang ideal, matang, dan dari mana munculnya angka 40 tahun tersebut untuk ketentuan usia menjadi calon presiden dan wakil presiden serta alasan dari mana jika yang berusia di bawah 40 tahun itu masih labil. Sehingga dasar ini tidak kuat, mengapa perlu mempertahankan angka 35 tahun. Usia 36–40 tahun berada dalam tahap aspek pengambil peran sosial yang lebih dan mengembangkan pekerjaan profesional. Berikutnya berdasarkan IPAK (Indeks Perilaku Anti Korupsi) mereka yang berusia di bawah 40 tahun memiliki kecenderungan korupsi yang lebih rendah dibandingkan usia di atas 40 tahun,“ sampai Francine di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Manahan M.P. Sitompul.
Baca juga:
PSI Minta Batas Usia Minimal Capres-Cawapres 35 Tahun
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 29/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI/Pemohon I) dan sejumlah perseorangan warga negara Indonesia, yakni Anthony Winza Probowo (Pemohon II), Danik Eka Rahmaningtyas (Pemohon III), Dedek Prayudi (Pemohon IV), dan Mikhail Gorbachev (Pemohon V). Pasal 169 huruf q UU Pemilu berbunyi, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden. Adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (3/4/2023), para Pemohon melalui Francine Widjojo menyatakan batas minimal syarat umur untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada norma tersebut dinyatakan jelas yakni 40 tahun. Sementara para Pemohon saat ini berusia 35 tahun, sehingga setidak-tidaknya batas usia minimal usia calon presiden dan wakil presiden dapat diatur 35 tahun dengan asumsi pemimpin-pemimpin muda tersebut telah memiliki bekal pengalaman untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden. Sehingga norma ini menurut para Pemohon bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas karena menimbulkan bibit-bibit diskriminasi sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
“Padahal pada prinsipnya, negara memberikan kesempatan bagi putra putri bangsa untuk memimpin bangsa dan membuka seluas-luasnya agar calon terbaik bangsa dapat mencalonkan diri. Oleh karenanya objek permohonan adalah ketentuan yang diskriminatif karena melanggar moralitas. Ketika rakyat Indonesia dipaksa hanya memilih pemimpin yang sudah bisa memenuhi syarat diskriminatif, tentu ini menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat Indonesia yang memilih maupun orang yang dipilih,” sebut Francine.
Untuk itu para Pemohon meminta Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun.”
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.