JAKARTA, HUMAS MKRI – Penambahan kewenangan jaksa untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) bertentangan dengan UUD 1945. Demikian diputuskan Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Jumat (14/4/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” ucap Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan yang disampaikan Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul tersebut, MK dalam pertimbangan hukum Perkara Nomor 33/PUU-XIV/2016 tersebut menegaskan norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah norma yang konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain selain PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Selain itu, Mahkamah menegaskan apabila ada pemaknaan yang berbeda terhadap norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikan norma tersebut inkonstitusional.
Pemohon mendalilkan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang telah memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk mengajukan PK telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Terlebih lagi, menurut Pemohon adanya fakta bahwa dalam perkara pidana yang telah dijalani oleh Pemohon, Kejaksaan telah mengajukan PK meskipun Pemohon telah dinyatakan bebas berdasarkan putusan PK yang telah diajukan oleh Pemohon sehingga hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, menurut Pemohon, pengajuan PK yang dilakukan oleh Kejaksaan tersebut juga didasarkan atas penuntutan yang berlaku surut karena PK diajukan Jaksa sebelumnya atas putusan PK dari Mahkamah Agung yang membebaskan terpidana dan telah diputus pada tanggal 15 September 2021. Sedangkan, norma pada Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan diundangkan pada tanggal 31 Desember 2021 sehingga materi muatan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yakni hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Penambahan Kewenangan Jaksa
Selain itu, dalam pertimbangannya, Mahkamah juga menilai Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 adalah pasal baru yang disisipkan di antara Pasal 30 dan Pasal 31 dalam UU 16/2004 yakni pada angka 27 dalam BAB III tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan. Sebelumnya, dalam UU 16/2004 tidak diatur kewenangan Jaksa untuk melakukan PK. Namun, dalam Pasal 35 huruf d UU 16/2004 yang menyatakan, “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: … d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”, Kejaksaan, in casu Jaksa Agung telah diberikan kewenangan untuk dapat mengajukan kasasi.
Menurut Mahkamah, sambung Manahan, dengan disisipkannya Pasal 30C huruf h beserta Penjelasannya dalam UU Kejaksaan berarti telah menambah kewenangan kejaksaan, in casu kewenangan untuk mengajukan PK tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas tentang substansi dari pemberian kewenangan tersebut. Menurut Mahkamah, penambahan kewenangan tersebut bukan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum, namun juga akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh Jaksa khususnya dalam hal pengajuan PK terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Terlebih lagi, adanya fakta bahwa terkait dengan isu konstitusionalitas PK telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008 dan dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.
“Menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada putusan tersebut seharusnya pembentuk undang-undang memahami benar bahwa dengan menyisipkan tambahan kewenangan kepada Kejaksaan untuk mengajukan PK akan berdampak terhadap terlanggarnya keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” urai Manahan.
Baca juga:
Notaris Pertanyakan Kewenangan Jaksa Ajukan PK
Notaris Tambahkan Landasan Konstitusional Uji Kewenangan Jaksa Ajukan PK
Tidak Sejalan
Lebih lanjut Manahan menjelaskan, secara substansi norma Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang memberikan tambahan kewenangan kepada Jaksa untuk mengajukan PK tidak sejalan dengan norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Jaksa tidak berwenang mengajukan PK melainkan hanya terpidana atau ahli warisnya.
Oleh karena itu, berkenaan dengan norma Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam empat landasan pokok untuk mengajukan PK sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah dimaknai secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah. Artinya, adanya penambahan kewenangan Jaksa dalam pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan bukan hanya akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hukum dan ambiguitas dalam hal pengajuan PK, namun lebih jauh lagi, pemberlakuan norma tersebut berakibat terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Manahan melanjutkan, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 telah menimbulkan perlakuan yang tidak adil dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum sehingga Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tandas Manahan.
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan Kamis (23/2/2023) lalu Pemohon melalui Singgih Tomi Gumilang selaku kuasa hukum menceritakan kasus konkret yang dialami Pemohon yang menjadi terdakwa dalam perkara pidana dan diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Gianyar, Bali sehingga dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun. Atas putusan tersebut, Pemohon pada 15 November 2019 melakukan Banding dan Jaksa Penuntut Umum mengajukan pada 14 November 2019. Kemudian Pengadilan Tinggi Denpasar menyatakan Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sehingga membebaskannya dari segala dakwaan. Namun kemudian Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 21 Januari 2020. Majelis Hakim Peninjauan Kembali menjatuhkan putusan Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dalam surat dakwaan penuntut umum.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita