JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan pelarangan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk aktivitas penambangan mineral sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir), pada Rabu (12/4/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 35/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh PT. Gema Kreasi Perdana yang diwakili oleh Rasnius Pasaribu (Direktur Utama).
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut, Feri Wirsamulia menyampaikan sebagai Pemohon merupakan suatu badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan di wilayah yang tergolong Pulau Kecil. Akan tetapi, lanjut Feri, Pemohon terusik ketika sekelompok masyarakat tidak menginginkan keberadaan Pemohon untuk menjalankan usaha pertambangan. Sekelompok masyarakat tersebut mengajukan uji materiil terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021-2041 (Vide Bukti P-74, khususnya Pasal 24 huruf d, Pasal 28 dan Pasal 36 huruf c yang secara khusus mengatur mengenai kawasan pertambangan di Pulau Wawonii, ke Mahkamah Agung RI.
Feri melanjutkan terhadap permohonan uji materiil tersebut, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 57/P/HUM/2022 tanggal 22 Desember 2022 memutuskan bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 Pasal 24 huruf d, Pasal 28 dan Pasal 36 huruf c yang secara khusus mengatur mengenai kawasan pertambangan di Pulau Wawonii tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang a quo khususnya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k).
Atas putusan tersebut, Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar atas berlakunya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir khususnya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) yang ditafsirkan oleh Mahkamah Agung RI sebagai larangan tanpa syarat terhadap kegiatan pertambangan di wilayah tersebut melalui putusan No. 57P/HUM/2022 tanggal 22 Desember 2022. Dengan penafsiran tersebut, Mahkamah Agung RI dalam putusannya menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum Pasal 24 huruf (d), Pasal 28 dan Pasal 36 huruf (c) Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021 – 2024 karena dianggap bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) Undang-Undang a quo.
“Bahwa hal tersebut telah mengakibatkan Pemohon sebagai pemegang Ijin Usaha Pertambangan di wilayah tersebut, tidak dapat menjalankan kegiatannya atau setidaknya dalam menjalankan kegiatannya (pelaku usaha dalam bidang pertambangan mineral termasuk masyarakat yang bekerja di perusahaan tambang guna memenuhi kebutuhan sehari-harinya) menjadi tidak tenang dikarenakan tidak mempunyai perlindungan dan kepastian hukum atas penafsiran Undang-Undang a quo,” ujar Feri di hadapan Panel Hakim.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon menyatakan Pasal 23 ayat (2) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “sebagai larangan terhadap kegiatan lain selain yang diprioritaskan, termasuk larangan kegiatan pertambangan berikut sarana dan prasarananya”. Serta menyatakan Pasal 35 huruf (k) UU Pengelolaan Wilayah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat”.
Perbaiki Format Permohonan
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Daniel Yusmic. P. Foekh memberikan saran perbaikan. Manahan meminta agar Pemohon merujuk pada PMK Nomor 2 Tahun 2021 (PMK 2/2021) untuk menyesuaikan permohonan. Selain itu, ia meminta agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum. “Juga norma yang diujikan nanti diletakkan di bagian legal standing saja. Kemudian, kewenangan Mahkamah harus disempurnakan karena UU MK terakhir dengan UU 7/2020,” saran Manahan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar Pemohon memperbaiki bagian mengenai identitas Pemohon karena belum tergambar pihak yang berhak mewakili PT. Gema Kreasi Perdana sebagai badan hukum privat. “Sebenarnya dalam surat kuasa sudah ada, tetapi dalam permohonan ini juga harus terlihat. Karena dia badan hukum privat mengacu pada UU PT. Diuraikan menurut UU PT siapa yang berhak mewakili siapa,” ucap Daniel.
Ketua MK Anwar Usman juga menyampaikan agar Pemohon mencari rujukan dari Putusan MK terkait pengujian pasal serupa. Ia menyebut hal ini agar permohonan Pemohon tidak nebis in idem dengan permohonan sebelumnya. “Supaya alasan yang ada dalam Putusan sebelumnya yang terkait dengan pasal yang diuji ini. Pihak yang mengajukan mungkin berbeda, tapi apa alasan yang diajukan sama dengan alasan Pemohon ini,” tandasnya.
Kemudian, Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Selambatnya Kepaniteraan MK menerima perbaikan permohonan pada Rabu, 26 April 2023. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana