JAKARTA, HUMAS MKRI – Frasa “gangguan lainnya” dalam aturan mengenai syarat penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) diuji. Viktor Santoso Tandiasa menyebut perkara tersebut dilatarbelakangi kasus konkret adanya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN_Jkt.Pst yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Putusan PN 757/2022). Dalam putusan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dihukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.
Demikian disampaikan Viktor yang hadir langsung dalam sidang perdana pengujian UU Pemilu yang digelar pada Kamis (6/4/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam Perkara Nomor 32/PUU-XXI/2023 tersebut, Viktor menilai kasus konkret tersebut berkaitan dengan adanya frasa “gangguan lainnya”dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (2) UU Pemilu yang dinilai multitafsir.
Sebelumnya, Pasal 431 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan”. Sementara Pasal 432 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan”.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Viktor mengatakan makna frasa “gangguan lainnya” tidak jelas. Artinya, frasa tersebut rentan dimaknai secara multitafsir dan sangat luas karena banyak kondisi yang dapat dimaknai sebagai syarat untuk dapat dihentikannya pelaksanaan pemilu (Penundaan Pemilu). Salah satunya adalah Putusan PN 757/2022 yang menjadi latar belakang kasus konkret dalam permohonan Pemohon.
“Fakta yang terjadi yang juga dapat dikategorikan masuk dalam frasa ‘gangguan lainnya’ dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 adalah Putusan PN 757/2022 yang dalam amar putusannya pada angka 5 menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari. Sementara terhadap amar ke 6 (enam) menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad),” terang Viktor.
Menurut Viktor, dampak dari Putusan PN 757/2022 apabila tidak dilaksanakan, maka dapat menyebabkan pelaksanaan penyelengggaraan Pemilu sebagian menjadi cacat hukum. Hal tersebut juga karena jika KPU sebagai Tergugat tidak menjalankan putusan tersebut akan membangkang. Belum lagi KPU tetap melaksanakan penyelenggaraan Pemilu pasca-Putusan PN 757/2022 kendati upaya hukum banding dilakukan.
Viktor menegaskan, terdapat asas “Res Judicata Pro Veritate Habetuur” yang pada pokoknya mengartikan bahwa Putusan harus dianggap benar dan dapat dilaksanakan (uitvoerbaar bij voorraad). Hingga adanya koreksi/pembatalan putusan tersebut oleh Putusan Pengadilan yang berada diatasnya in casu Banding dan Kasasi hingga Peninjauan Kembali.
“Apabila mengacu pada asas res judicata pro veritate habetuur dan uitvoerbaar bij voorraad. Maka, idealnya KPU harus tetap melaksanakan Putusan PN 757/2022 sambil melakukan upaya hukum berikutnya yakni Banding, Kasasi, PK sampai Putusannya bersifat inkracht. Karena sejatinya kekuatan mengikat putusan tentunya hanya dapat dibatalkan dengan produk yang sejenis yakni putusan. Namun perlu dipahami bahwa upaya Banding, kasasi hingga PK tentunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara sehari saja pelaksanaan penyelenggaraan pemilu tidak dilaksanakan maka potensi tidak terlaksananya penyelenggaraan pemilu pada sebagian daerah ataupun seluruh daerah semakin besar terjadi,”urainya.
Sementara apabila KPU tetap melaksanakan penyelenggaraan pemilu, sambung Viktor, terdapat konsekuensi ancaman hukum yang sedang menanti. Misalnya, Penggugat dari pihak lain dapat saja menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena dianggap telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatige overheidsdaad) in casu tidak melaksanakan Putusan PN 757/2022. Artinya, sambung Viktor, KPU menjadi berada dalam posisi yang dilematis dan lemah secara hukum dalam melaksanakan Penyelenggaraan Pemilu. Hal ini dapat menjadi dasar untuk dilakukannya Pemilu Susulan dan/atau Pemilu Lanjutan karena dianggap memenuhi syarat masuk dalam bentuk “gangguan lainnya”.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, Viktor melanjutkan ketentuan norma Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 terhadap frasa “gangguan lainnya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 oleh karenanya alasan Pemohon adalah beralasan menurut hukum. Sehingga dalam Petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 431 ayat (1) serta Pasal 432 ayat (2) UU Pemilu terhadap frasa “gangguan lainnya” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan secara teknis pemohonan sudah lengkap termasuk kedudukan hukum. Ia mengatakan dalam kedudukan hukum Pemohon yang mendalilkan selaku warga negara yang memiliki hak pilih harus dielaborasi dengan alasan permohonan mengenai keberadaan frasa ‘gangguan lainnya’.
“Hanya saja perlu diperkuat lagi atau diperdalam bagaimana menyambungkan dengan frasa gangguan lainnya ini meskipun sudah ada tetapi perlu dipertajam lagi. Dimana nih korelasinya hak pilih saudara dengan frasa gangguan lainnya yang saudara dalam petitum gangguan lainnya dipandang multitafsir dalam bahasa konstitusi tidak memiliki kepastian hukum. Jadi tolong perlu dipertajam lagi mungkin bisa dilihat bahwa apabila ini terjadi maka seperti yang saudara katakana tadi saya sebagai pemilih akan terganggu hak pilihnya,” saran Guntur.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar Pemohon mengelaborasi alasan permohonannya yang dinilainya belum terlihat adanya keterkaitan. Ia menilai undang-undang tidak dapat mengunci penafsiran secara rinci, karena bisa saja ada peristiwa seperti Pandemi Covid-19. Belum lagi, dalam Pasal 432 ayat (3) UU Pemilu, sudah memberikan persentase syarat Pemilu Lanjutan atau Pemilu Susulan.
“Artinya memang ini sudah dilaksanakan, tetapi ada persentase yang menyebabkan tidak ketidak-terlaksanaannya itu karena apa bisa jadi faktor-faktor yang ada di dalam Pasal 432 ayat (1) dan ayat (2)- nya itu. Tapi UU Pemilusudah punya rumusan di situ, kapan ini akan dikatakan sebagai Pemilu susulan dan kapan pemilu itu (dikatakan) Pemilu lanjutan,” sarannya.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan Pemohon diberi waktu untuk menyerahkan perbaikan selama 14 hari kerja. Perbaikan permohonan paling lambat diserahkan kepada Kepaniteraan MK pada Rabu 26 April 2023 pukul 10.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.