JAKARTA, HUMAS MKRI – Pengaturan persyaratan usia secara berbeda untuk bagi jabatan dalam suatu lembaga negara atau instansi pemerintah merupakan pengaturan untuk memenuhi kriteria subyektif bagi para pejabat negara/pemerintah. Namun, pengaturan mengenai batasan usia tertentu perlu didasarkan atas alasan yang bijaksana, rasional dan relevan dengan persyaratan jabatan tersebut. Pengaturan mengenai Batasan usia tersebut, harus didasarkan atas asas kecermatan (principium praecisione).
Hal tersebut disampaikan oleh Ahli Bidang Hukum Administrasi Negara W. Riawan Tjandra selaku ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang keenam untuk perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron ini digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (3/4/2023) siang.
Lebih lanjut Riawan dalam keterangannya mengatakan, pada saat ketentuan Pasal 29 angka 5 UU Nomor 30 Tahun 2002 berlaku, Pemohon masih memenuhi syarat usia paling rendah untuk mendaftar dan berhasil lulus menjadi salah satu Pimpinan KPK. Namun setelah perubahan ketentuan Pasal 29 huruf e UU Nomor 19 Tahun 2019 berlaku, Pemohon berpotensi kehilangan hak dan kesempatan untuk mendaftar kembali jika proses seleksi dilakukan sesuai dengan berakhirnya masa jabatan Pimpinan KPK 2019-2023 oleh karena belum sampai pada usia sekurang-kurangnya 50 puluh tahun.
“Tidak ada ditemukan pertimbangan yang cukup dan beralasan (satis et ratonabili consideratione) mengenai perubahan batas usia tersebut baik di dalam ketentuan terkait, penjelasan maupun Naskah Akademik terkait perubahan batas usia yang berubah secara signifikan tersebut. Dikhawatirkan, perubahan batas usia tersebut hanya asal tempel saja dalam ketentuan Pasal 29 huruf e UU Nomor 19 Tahun 2019 tersebut. Padahal perubahan ketentuan yang bersifat prinsip dalam sebuah undang-undang memerlukan dasar alasan (basic causas) yang memadai untuk perubahan ketentuan yang bersifat prinsipil dan berpotensi menimbulkan akibat hukum terhadap pihak-pihak yang akan melaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan ketentuan tersebut,” ujar Riawan Tjandra di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Selain itu, sambung Riawan, pengaturan mengenai periodisasi masa jabatan pimpinan KPK sebagaimana diatur pada Pasal 34 UU KPK yang mengatur periodisasi jabatan pimpinan KPK selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih Kembali untuk satu periode berikutnya, juga memperlihatkan adanya perbedaan dengan pengaturan masa jabatan dari 12 pimpinan komisi/lembaga negara yang lain yang semuanya mengatur masa jabatan bagi komisioner/pimpinannya selama 5 tahun.
“Jika tak terdapat alasan yang rasional dan memadai ihwal perbedaan pengaturan masa jabatan tersebut justru menunjukkan tidak diterapkannya asas persamaan (principium aequalitatis) dalam pengaturan masa jabatan bagi pimpinan KPK,” terangnya.
Pengaturan Batas Usia Pimpinan KPK
Pengaturan mengenai batasan usia bagi jabatan-jabatan di lingkungan komisi/lembaga negara pernah menjadi pandangan Mahkamah bahwa terhadap kriteria usia yang UUD 1945 tidak menentukan batasan usia tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan, hal ini merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk undang-undang, yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, dalam Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013, MK memberikan tambahan pandangan bahwa walaupun Kewenangan pengaturan batas usia dimaksud akan menjadi permasalahan konstitusionalitas jika menimbulkan problematika kelembagaan, menghambat pelaksanaan kinerja lembaga negara tersebut, atau menimbulkan kerugian konstitusionalitas warga negara Jika ditarik landasan konstitusionalitasnya secara vertikal ke atas, pengaturan mengenai batasan usia dalam suatu undang-undang, tidak boleh bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945.
Menurut Riawan, alasan/konsiderasi peningkatan batasan usia paling rendah bagi calon pimpinan KPK dari 40 tahun menjadi 50 tahun kiranya juga tanpa dasar pertimbangan/kajian yang memadai dan kiranya justru mengarah pada pelanggaran asas persamaan dalam penentuan batasan usia minimal bagi pimpinan KPK, jika disejajarkan dengan pengaturan batasan usia yang sama pada beberapa undang-undang bagi komisi/lembaga Negara lain.
“Jika terdapat pimpinan KPK yang ternyata menjadi dirugikan hak konstitusional dan hak administratifnya dalam pencalonan pimpinan KPK, seyogyanya diberlakukan prinsip pengecualian (exclusio principium) agar bisa memperbaiki terjadinya diskriminasi dan ketidaksetaraan (distinctione et inaequalitate) dalam kondisi khusus tersebut. Pemaknaan khusus untuk aturan umum yang menimbulkan diskriminasi dalam kondisi khusus perlu dilakukan melalui tafsir konstitusional untuk memulihkan kerugian konstitusional dan administratif bagi seseorang yang (tanpa salahnya) menjadi terdistorsi hak konstitusional dan administratifnya akibat perubahan ketentuan normatif yang mengubah kriteria subyektif bagi pelaksanaan ketentuan tersebut (interpretatio constitutionalis regularum quae iura subiectiva pervertunt necesse est ad aequalia iura restitui=tafsir konstitusional atas aturan yang mendistorsi hak subyektif diperlukan untuk mengembalikan kesetaraan hak),” tegasnya.
Perlunya Kesetaraan Pengaturan Masa Jabatan
Riawan juga menjelaskan pengaturan mengenai masa jabatan bagi komisi/lembaga negara yang latar belakang historisnya berada dalam konteks yang sama, meskipun dengan kewenangan yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan pembentukannya, idealnya juga memenuhi prinsip kesamaan (principium similitudinis) dan kesetaraan (aequalitas principium). Masa jabatan pimpinan KPK ditentukan pada Pasal 34 UU KPK yang mengatur bahwa Pimpinan KPK memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Ketentuan tersebut terlihat berbeda dengan pengaturan mengenai masa jabatan bagi komisi/lembaga negara yang lain.
Padahal, terang Riawan, jika mengacu prinsip dasar dari pengelolaan anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) yang menjadi landasan bagi pengelolaan keuangan negara pada semua sektor publik selalu harus didasarkan atas kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework) yang berperspektif jangka menengah (5 tahun). Maka, logikanya pengaturan mengenai masa jabatan bagi pimpinan tertinggi pada semua sektor publik seyogyanya juga diatur selama 5 (lima) tahun untuk dapat dinilai kinerjanya secara efektif dan obyektif terhadap pelaksanaan anggaran guna membiayai program dan kegiatan dalam DPIA masing-masing sektor publik itu menyesuaikan dengan masa jabatan selama 5 (lima) tahun tersebut. Berdasarkan prinsip MTEF tersebut seluruh sistem perencanaan jangka menengah bagi Kementerian/Lembaga di Pusat maupun di Organisasi Perangkat Daerah di Pemerintahan Daerah juga menggunakan sistem perencanaan jangka menengah yang berlaku selama 5 (lima) tahun.
Menanggapi keterangan ahli, Ketua MK Anwar Usman mempertanyakan kepada ahli perbedaan antara usia jabatan Komisioner KPK dan Dewan Pengawas KPK. “Sekedar perbandingan saja, menurut ahli dari UU tentang KPK ini apakah masa jabatan Komisioner KPK dengan Dewas itu satu paket artinya paling tidak sama masa jabatannya atau bagaimana dan idealnya bagaimana menurut ahli?” tanya Anwar Usman.
Menjawab pertanyaan Ketua MK Anwar tersebut, Riawan menjelaskan dewan pengawas (Dewas) juga memiliki rencana strategis. Kemudian, pimpinan juga memiliki rencana yang dilaksanakan dan mereka menggunakan anggaran sektor publik keuangan negara. “Masa periodisasinya mestinya juga 5 tahun untuk menyetarakan dengan keharusan mampu melaksanakan secara efektif medium term expenditure framework ini dalam perspektif hukum keuangan negara supaya tidak ada pelemahan di dalam analisis kinerja,” jelasnya.
Baca juga:
Nurul Ghufron Uji Aturan Batas Usia Pimpinan KPK
Nurul Ghufron Perbaiki Permohonan Uji Aturan Batas Usia Pimpinan KPK
Syarat Usia Pimpinan KPK Sebagai Bentuk Tata Tertib Administrasi
Pemerintah Sebut Perlu Adanya Syarat Batas Usia Bagi Pimpinan KPK
Ahli Nilai Masa Jabatan Pimpinan KPK Bertentangan dengan Cita Hukum
Sebelumnya, Nurul Ghufron selaku Pemohon merupakan Wakil Ketua KPK yang telah diangkat memenuhi kualifikasi berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2022 (UU KPK pertama). Akan tetapi, dengan berlakunya Pasal 29 huruf (e) UU KPK telah mengurangi hak konstitusional Pemohon. Berlakunya ketentuan pasal a quo yang semula mensyaratkan usia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun, setelah perubahan menjadi paling rendah adalah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun mengakibatkan pemohon yang usianya belum mencapai 50 tahun tidak dapat mencalonkan diri kembali menjadi pimpinan KPK untuk periode yang akan datang. Hal ini kontradiktif dengan Pasal 34 UU Nomor 30 Tahun 2002.
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa dirinya telah dirugikan secara konstitusional untuk mencalonkan diri sebagai Pimpinan KPK pada masa jabatan selanjutnya. Pemohon meyakini bahwa aturan pembatasan usia minimal menduduki jabatan pemerintahan memiliki makna agar pemangku kepentingan terpilih tersebut adalah orang sudah memiliki kedewasaan. Sehingga, menurut Pemohon, orang yang telah berpengalaman dalam suatu jabatan harus pula dipandang “telah memenuhi syarat secara hukum” untuk memenui jabatan tersebut. Adapun dengan berlakunya pasal a quo, Pemohon berpandangan bahwa dirinya telah kehilangan hak atas kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta untuk memperoleh pekerjaan dengan perlakuan yang adil. Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK inkonstitusional secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak juga terdapat ketentuan “berpengalaman sebagai Pimpinan KPK” pada Pasal 29 huruf (e) UU KPK.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita