JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) tidak dapat diterima. Permohonan diajukan oleh Zico Leonard Djagardo yang merupakan seorang advokat. Sidang pengucapan putusan Nomor 17/PUU-XXI/2023 dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya, pada Kamis (30/3/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengadili, Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Anwar Usman membacakan amar putusan.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK mengatakan pada dasarnya Pemohon hendak mengatakan bahwa pemberhentian “… oleh Lembaga Pengusung karena menganulir atau membatalkan Produk Hukum yang dibuat oleh Lembaga Pengusung” seharusnya tidak termasuk sebagai alasan pemberhentian dengan hormat yang diatur Pasal 23 ayat (1) UU MK.
Menurut MK, dilihat dari sistematika UU MK, Pasal 23 secara khusus mengatur mengenai alasan pemberhentian hakim konstitusi, di mana Pasal 23 ayat (1) mengatur alasan pemberhentian dengan hormat, sementara Pasal 23 ayat (2) mengatur alasan pemberhentian tidak dengan hormat. “Jika alur penalaran permohonan Pemohon diikuti maka rumusan Pasal 23 ayat (1) UU MK akan memuat lima alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi (yang dirumuskan dalam huruf a, b, c, d, dan e) sekaligus satu alasan (yang dimohonkan Pemohon) yang tidak termasuk dalam kategori pemberhentian dengan hormat. Artinya dalam satu nafas, ayat (1) dari Pasal 23 UU MK akan sekaligus memuat dua kategori yang bertolak belakang, yaitu kategori pemberhentian dengan hormat yang dianggap Pemohon konstitusional dan kategori pemberhentian yang dianggap Pemohon inkonstitusional,” terang Daniel.
Lebih lanjut, penyatuan dua kategori konstitusionalitas demikian potensial memunculkan kontradiksi yang pada akhirnya Pasal 23 ayat (1) UU MK justru tidak lagi dapat dipahami apalagi dilaksanakan, yang tentunya justru merugikan Pemohon dan masyarakat karena pengaturan mengenai alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi tidak lagi dapat diterapkan.
Penambahan makna baru, Daniel menyebut, secara teknis logika hukum, hanya dimungkinkan untuk dilakukan kepada rumusan norma yang mempunyai kedekatan konteks dengan makna baru yang hendak ditambahkan, serta hasil penambahan makna tersebut tidak justru membuat makna keseluruhan menjadi kabur. Dalam permohonan a quo Mahkamah menilai makna baru yang dimohonkan oleh Pemohon sebagai syarat untuk menyatakan inkonstitusionalitas Pasal 23 ayat (1) UU MK berjarak secara konteks bahkan dapat dikatakan justru mengakibatkan kekaburan makna Pasal 23 ayat (1) UU MK secara keseluruhan. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU MK mengatur tentang alasan dapat diberhentikan dengan hormat sebagai hakim konstitusi. Sebaliknya, petitum yang dimohonkan Pemohon justru mengandung norma berupa larangan sehingga terjadi pertentangan (contradictio in terminis).
Petitum yang diajukan Pemohon dalam pemahaman Mahkamah terlihat sebagai pemaknaan dalam dua tingkat/langkah, yaitu: langkah pertama, memberikan tambahan makna bagi Pasal 23 ayat (1) UU MK berupa alasan pemberhentian. Langkah kedua, Pasal 23 ayat (1) UU MK yang sudah dilekati tambahan makna tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pola pemaknaan inkonstitusionalitas bersyarat yang demikian menurut Mahkamah jika diikuti dan diterapkan akan menyulitkan masyarakat dalam memahami Pasal 23 ayat (1) UU MK. Bagi Mahkamah rumusan makna baru demikian akan lebih mudah dipahami secara logika hukum apabila dirumuskan terpisah dari Pasal 23 ayat (1) UU MK, misalnya di ayat yang lain atau bahkan dirumuskan sebagai pasal terpisah. Meskipun di sisi lain perumusan norma baru secara terpisah demikian mengarah pada praktik positive legislator yang tidak dapat dilakukan Mahkamah karena bertabrakan dengan kewenangan konstitusional pembentuk undang-undang.
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan dalam paragraf di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon kabur dan karenanya permohonan Pemohon tidak dapat diperiksa dan/atau dipertimbangkan lebih lanjut,” ujarnya.
Baca juga:
Pemberhentian Hakim Konstitusi dan Perubahan Putusan MK Dipersoalkan
Advokat Pertegas Permohonan Provisi Uji UU MK
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 17/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Zico Leonard Djagardo yang berprofesi sebagai advokat. Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (16/2/2023) mengungkapkan, sebagai pihak yang beperkara di MK ia sangat membutuhkan independensi hakim konstitusi dalam memutus perkara. Oleh karena itu, ketika DPR mengintervensi MK dengan mengganti hakim yang menjadi “wakil” mereka, hal ini melanggar hak-hak konstitusional Zico untuk mendapatkan keadilan melalui kekuasaan kehakiman yang merdeka. Independensi MK digerus oleh DPR melalui upaya mengganti hakim konstitusi agar sejalan dengan mereka.
Pemohon juga mengungkapkan keterkejutannya ketika menonton ulang rekaman sidang pengucapan Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022, dan membaca file putusan beserta risalah sidangnya. Dia mendapati adanya perbedaan saat pengucapan putusan dengan file putusan dan risalah sidang yang diunggah di laman MK. Terjadinya hal tersebut membuat Pemohon sebagai pihak yang dirugikan, muncul pemikiran negatif. Pemohon merasa yakin hal ini adalah sebuah kesengajaan yang ditujukan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Pemohon pun berupaya mencari jawabannya untuk menemukan siapakah pelakunya. Selain itu, Pemohon membawa kasus ini kepada aparat yang berwenang melalui upaya hukum.
Dalam petitum provisinya, Pemohon antara lain meminta MK agar mengecualikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam mengadili dan memutus perkara a qua. Kemudian mengecualikan Panitera Muhidin dalam mengadministrasi perkara a quo. Sedangkan dalam petitum pokok perkara, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 23 ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai “termasuk juga ditarik (di-recall) oleh lembaga pengusungnya dengan alasan tidak disukai oleh lembaga pengusungnya karena mematikan produk yang dibuat oleh lembaga pengusungnya”. Kemudian, menyatakan Pasal 23 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “termasuk juga mengubah substansi dalam putusan yang telah dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum”.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.