JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak seluruh permohonan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Pemohonan diajukan oleh Moch Ojat Sudrajat. Sidang pengucapan Putusan Nomor 13/PUU-XXI/2023 digelar pada Kamis (30/3/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, saat membacakan amar putusan.
Fungsi Dewan Pers
MK dalam pertimbangan hukum yang diucapkan oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menegaskan, untuk memahami secara komprehensif ketentuan Pasal 15 ayat huruf d UU Pers, tidak dapat dipisahkan dari norma-norma lainnya. Norma tersebut berkelindan dengan fungsi Dewan Pers lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e UU Pers yang pada pokoknya menyatakan fungsi Dewan Pers adalah mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
Secara substansial, ketentuan pasal tersebut telah mengakomodir hal yang sesungguhnya dimohonkan oleh Pemohon, yang mempersoalkan konstitusionalitas fungsi Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Fungsi ini juga merupakan bagian dari upaya Dewan Pers mewujudkan ketentuan peran serta masyarakat yang juga dijamin dalam Pasal 17 UU Pers di mana salah satu kegiatan masyarakat dimaksud dapat berupa memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Bahkan, dalam rangka pemantauan tersebut masyarakat dapat membentuk lembaga organisasi pemantau media (media watch).
Dalam konteks ini, Manahan menjelaskan, hak masyarakat memantau pemberitaan pers tersebut merupakan bagian dari fungsi kontrol yang dilakukan melalui kegiatan yang dapat menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. Karena, UU Pers telah memberikan jaminan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran. Oleh karenanya, dalam melaksanakan fungsi kontrol publik tersebut, masyarakat dapat mengusulkan dan memberikan saran kepada Dewan Pers agar dapat menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. Pemantauan atau kontrol publik penting untuk dilakukan sebagai wujud membangun keseimbangan dengan kewajiban pers nasional yang memberitakan peristiwa dan opini kepada publik dengan tetap menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah.
Dalam negara yang berlandaskan nilai-nilai ideologi Pancasila adanya penghormatan terhadap hal-hal tersebut merupakan rambu-rambu penting dalam pemberitaan sehingga tetap terjamin keberadaban kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, berkaitan dengan norma Pasal 5 ayat (1) UU Pers dijelaskan lebih lanjut bahwa pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang. Terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.
Dalam kaitan dengan pertimbangan hukum di atas menjadi penting untuk menegaskan mengenai arti fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam "Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers yang memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Dalam konteks ini, terkait dengan pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan maka untuk mempertanggungjawabkan pemberitaannya tersebut di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak yakni hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
Oleh karena itu, berkaitan dengan fungsi Dewan Pers dalam memberikan pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat tersebut pun dilakukan dengan hak jawab, hak koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik. Hak jawab dan hak koreksi dimaksud sesungguhnya merupakan bagian dari kontrol publik yang dijamin oleh UU Pers. Oleh karenanya, menjadi bagian kewajiban pers untuk melayaninya yakni melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Implementasi Norma
Sementara dalam kaitan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan frasa "kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers" dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers yang dianggap Pemohon sebagai dasar berlindungnya Dewan Pers menyelesaikan sengketa pemberitaan/kasus pers dengan hak jawab atau hak koreksi tanpa dapat menggunakan hak untuk melakukan gugatan perdata ataupun pidana walaupun yang melakukan adalah media yang perusahaan persnya tidak terdata di Dewan Pers sehingga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers.
Hal tersebut juga menurut Pemohon menimbulkan diskriminasi hukum karena berbeda jika dilakukan oleh orang yang bukan berprofesi wartawan atau bukan perusahaan yang bergerak di bidang pers yang mengunggah tulisan/pemberitaan di media sosial/media online, maka atas pemberitaan tersebut, apabila hoax atau mencemarkan nama baik, dapat dilakukan pelaporan ke pihak kepolisian dengan menggunakan UU ITE.
Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan persoalan implementasi norma bukan persoalan konstitusionalitas norma sehingga Mahkamah tidak berwenang menilainya. Terlebih lagi, Pemohon dalam menguraikan argumentasi konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers telah keliru, karena hanya memahami norma dimaksud secara parsial atau tidak membacanya secara utuh/komprehensif dalam kaitan dengan norma-norma lainnya. Apabila yang dipersoalkan oleh Pemohon semua pemberitaan pers termasuk yang mengandung delik pers sudah diatur tersendiri dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana, yaitu pada Pasal 18 UU Pers. Lebih lanjut, apabila yang dipersoalkan termasuk perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers, rumusan norma tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan norma Pasal 1 angka 2 UU Pers yang menyatakan, "Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi."
Dengan demikian, yang dimaksud dengan perusahaan pers sudah secara jelas diuraikan dalam Ketentuan Umum UU Pers. Lebih lanjut, menjadi fungsi Dewan Pers untuk mendata perusahaan pers dimaksud.
Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers telah ternyata tidak terdapat pertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan serta tidak menimbulkan diskriminasi hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Kasus Pemberitaan Pers
Pemohon Perbaiki Uji Konstitusionalitas Kasus Pemberitaan Pers
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan (13/2) Pemohon mendalilkan kerugian hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, terhadap “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” yang dilakukan oleh wartawan dan/atau perusahaan pers yang tidak terdaftar di Dewan Pers dan/atau “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” berupa berita bohong atau hoax, fitnah, dan menghina dan/atau mencemarkan nama baik serta merendahkan harkat dan martabat baik perorangan, badan hukum maupun badan publik dan berita yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Pemohon pernah mengalami langsung terkait dengan permasalahan adanya pemberitaan yang beredar yang bersifat mencemarkan nama baik Pemohon. Kemudian ada pemberitaan pers yang berisikan tidak benar dan juga palsu. Akan tetapi setiap permasalahan pemberitaan pers itu penyelesaiannya harus melalui Dewan Pers. Sementara menurut Pemohon, Dewan Pers hanya (menyelesaikan) pemberitaan (dari media) yang didata oleh Dewan Pers. Sedangkan media-media yang tidak terdata di Dewan Pers menurut pendapat kami bukan kewenangan dari Dewan Pers sendiri,” kata Ojat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.