JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengelar sidang kelima atas permohonan Nomor 5/PUU-XXI/2023 dan Nomor 6/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Senin (27/3/2023). Supriansa dari Komisi III DPR RI selaku pemberi keterangan menjabarkan jalannya proses persetujuan DPR atas rancangan Perppu Cipta Kerja yang diajukan Presiden/Pemerintah.
Berdasarkan tata cara pembentukan undang-undang, antara mekanisme pengesahan suatu undang-undang dan perppu dipersamakan sebagaimana termuat dalam Pasal 52 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). DPR dalam kewenangannya hanya memberikan persetujuan dan tidak atas perppu atau undang-undang yang diajukan Presiden. Guna melakukan pembahasannya, lanjut Supriansa, dibutuhkan waktu dan tahapan pembahasan seperti terurai dalam Pasal 65 hingga 70 UU P3 yang mengatur mekanisme pembahasan dimulai dari pembicaraan Tingkat 1 dan Tingkat 2.
Kemudian mengingat dalam suatu pembahasan perppu dibutuhkan partisipasi masyarakat serta sebagai tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, maka DPR harus mengumumkan kepada masyarakat atas pembahasan ini karena nantinya akan dihasilkan konsultasi publik berwujud masukan masyarakat.
“Dikarenakan mekanisme ini membutuhkan waktu, maka ketentuan pasal yang mengharuskan DPR menyetujui dan tidak norma ini, maka hal demikian secara tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana praktik yang pernah terjadi saat penetapan Perppu 2009, sehingga pada 9 Januari 2023 DPR menerima surat dari Presiden yang menyatakan RUU Perppu 2/2022 dan berpedoman pada Pasal 50 ayat (3) UU P3 yang memberikan waktu 60 hari, sehingga DPR pun melakukan serangkaian rapat kerja dengan badan legislasi dan DPD pada 14–15 februari 2023. Pada 14 Februari 2023, penugasan pembahasan RUU Perppu ini didasarkan pada pendapat pimpinan fraksi dan kelengkapan dewan, maka DPR RI melakukan rapat konsultasi pengganti rapat musyawarah dan menyetujui penetapan RUU Perppu ini menjadi undang-undang,” urai Supriansa dalam Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan tujuh hakim konsitusi lainnya.
Persetujuan Bersama
Selanjutnya, sambung Supriansa, dilakukan rapat kerja antara Pemerintah dan DPR RI dengan agenda pembahasan RUU Perppu dan dalam rangka tindak lanjut Putusan MK. Atas hal ini, telah dilakukan persetujuan bersama DPR dengan telah dibentuknya satgas khusus sehingga telah termuat partisipasi bermakna masyarakat yang mencakup tiga komponen, yakni hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan penjelasan/jawaban. Kemudian, pada 15 Februari 2023 kembali digelar rapat kerja antara DPR RI dan Pemerintah pada Tingkat 1. Hasilnya, RUU Perppu Cipta Kerja ini menjadi undang-undang untuk disetujui dan dilanjutkan ke Rapat Paripurna. Singkatnya, pada rapat ini dari 9 fraksi terdapat 7 fraksi menyetujui dan 2 fraksi menolak untuk mengundangkan norma ini.
Berikutnya terkait dengan proses pembahasan RUU Perppu Cipta Kerja ini dengan masa persidangan ketiga tahun 2022/2023 DPR RI yang berakhir pada 16 Februari 2023, kata Supriansa, maka pembahasan Tingkat 2 dalam Rapat Paripurna mengenai penetapan RUU Perppu menjadi undang-undang baru dilakukan pada masa persidangan 2022/2023 berikutnya agar DPR dapat mendengar masukan dari publik. Selanjutnya pada 14 Maret 2023 dilakukan pembukaan masa persidangan keempat tahun 2022/2023 DPR RI dengan agenda menyetujui hasil Rapat Tingkat 2, RUU Perppu menjadi undang-undang diagendakan pada 21 Maret 2023.
“Kemudian pada 21 maret 2023 dilakukan Rapat Paripurna dengan agenda Tingkat 2 dan tercatat 7 fraksi setuju dan 2 fraksi menolak untuk mengundangkan Perppu Cipta Kerja ini. Maka selanjutnya kewenangan Pemerintah untuk menindaklanjutinya menjadi undang-undang. Atas hal ini, maka DPR berpandangan dikarenakan 21 Maret 2023 Perppu telah disetujui menjadi undang-undang maka sudah seharusnya permohonan ini tidak relevan karena telah kehilangan objek pengujiannya,” sebut Supriansa.
Kenapa Perppu Bukan Undang-Undang
Atas keterangan DPR ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengajukan pertanyaan kepada DPR dan meminta keterangan tambahan. Selama beberapa tahun belakangan ini terdapat dua Perppu yang dikeluarkan Pemerintah, yakni Perppu Nomor 1/2020 tentang Covid dan Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja. Atas hal ini, Wahiduddin mempertanyakan kenapa kedua Perppu ini tidak mendapat persetujuan dalam rapat terdekat DPR karena adanya ketentuan batas maksimal pada Tingkat 1.
“Kemudian dinyatakan setuju bahwa penetapan Perppu dibawa ke Rapat Paripurna, bukan ke mekanisme persetujuan bersama. Secara faktual, pada 21 Maret 2023 DPR memberikan persetujuan Perppu jadi Undang-Undang. Oleh karena itu, bisakah beri penjelasan kenapa di dalam 30 tahun ini, belum pernah terjadi yang namanya Perppu yang nomornya belakangan lebih didahulukan dari perppu yang pertama, agar kesan new normal ini menjadi jelas, kenapa ini bisa terjadi? ini perlu ditambahkan pejelasan” tanya yang kedua Wahiduddin atas keterangan DPR ini.
Selain itu, Wahiduddin juga mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah soal sejak kapan Presiden/Pemerintah mulai merencanakan, memerintahkan, atau setidaknya berpikir atas tindak lanjut dari Putusan MK yang perlu dilakukan dengan penetapan Perppu dengan mencabut dan tidak memberlakukan UU Cipta Kerja. “Sejak Putusan MK atas keberlakuan UU Ciptaker ini, Pemerintah sedang intens menyusun RUU atas perintah MK tersebut maka saya minta tambahan keterangan berapa lama Perppu ini disiapkan? Dalam UU 12/2011 dan Perpres 87/2014 diatur pembentukannya sama dengan undang-undang. Bisa diberikan bukti administratif serta kesaksian sebagai bukti tambahan bahwa telah dimulainya sehingga dari putusan MK itu tidak menjadi undang-undang tetapi justru menjadi Perppu,” tanya Wahidudin yang diajukan kepada Kuasa Presiden/Pemerintah.
Katakteristik Perppu
Pertanyaan berikutnya datang dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh yang meminta keterangan tambahan DPR atas karakeristik dari Perppu Cipta Kerja sehingga dapat digolongkan pada prioritas dalam persidangan pembahasan. Hal ini mengingat pernyataan DPR yang menyatakan dengan telah diundangkannya Perppu Cipta Kerja, pengujiannya di MK dinyatakan kehilangan objek. Sehingga Mahkamah membutuhkan suatu pandangan sebagaimana praktik adanya Perppu yang tidak diundangkan.
“Jika kehilangan objek, ketika disetujui menjadi undang-undang, apakah MK cukup menjadikan rapat paripurna perppu itu telah kehilangan objek? Atau apakah MK menunggu sampai diudangkan kembali?” tanya Daniel pada DPR.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman mengatakan sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Kamis, 6 April 2023 pukul 11.00 WIB. Agendanya mendengarkan keterangan Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023.
Baca juga:
Perppu Cipta Kerja Dinilai Tak Memenuhi Syarat Kegentingan Memaksa
MK Periksa Perbaikan Dua Permohonan Pengujian Perppu Cipta Kerja
Sidang Ditunda, Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan Menyoal Uji Perppu Ciptaker
Pemerintah: Perppu Cipta Kerja Langkah Mitigasi Atasi Dampak Ekonomi Global
Untuk diketahui, Permohonan Nomor 5/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Hasrul Buamona (Dosen Hukum Kesehatan/Pemohon I), Siti Badriyah (Pengurus Migrant Care/Pemohon II), Harseto Setyadi Rajah (Konsultan Hukum/Pemohon III), Jati Puji Santoro (Wiraswasta/Pemohon IV), Syaloom Mega G. Matitaputty (Mahasiswa FH Usahid/Pemohon V), Ananda Luthfia Rahmadhani (Mahasiswa FH Usahid/Pemohon VI), Wenda Yunaldi (Pemohon VII), Muhammad Saleh (Pemohon VIII), dan Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) (Pemohon IX). Para Pemohon menyatakan Perppu Cipker tersebut tertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 22A UUD 1945 serta Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dan Nomor 91/PUU-XVII/2020. Menurut para Pemohon, subjektivitas Presiden untuk menerbitkan Perppu harus didasarkan pada keadaan yang objektif. Apabila diukur dari tiga tolok ukur, keberadaan Perppu ini tidak memenuhi syarat karena selama ini Pemerintah menggunakan UU 11/2020 (UU Cipta Kerja) untuk melaksanakan kebutuhan mendesak dalam penyelesaian masalah hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya, dan selama ini tidak terjadi kekosongan hukum.
Sementara itu Pemohon Perkara Perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023, diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Pemohon menyebutkan 55 Pasal yang terdapat pada Perppu 2/2022 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya norma yang terdapat pada Perppu tersebut menghilangkan hak konstitusional para buruh yang telah dijamin dalam UUD 1945 dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam bidang hukum ketenagakerjaan, Pemohon tidak melihat adanya kekosongan hukum. Sebab hingga saat ini masih terdapat UU 13/2003 dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya yang masih tetap berlaku di Indonesia. Untuk itu melalui Petitum dalam permohonan formil, Pemohon memohon kepada Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian formil Pemohon; menyatakan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.