JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), pada Senin (27/3/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 26/PUU-XXI/2023 ini dimohonkan oleh Nurhidayat yang merupakan advokat yang memiliki spesialisasi penanganan perkara perpajakan.
Dalam persidangan, Pemohon yang diwakili oleh Viktor Santoso Tandiasa mengatakan, persyaratan untuk menjadi kuasa hukum dalam pengadilan pajak yang harus dipenuhi, selain yang diatur dalam UU Pengadilan Pajak ditetapkan oleh Menteri. Padahal seharusnya syarat-syarat untuk menjadi Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU Pengadilan Pajak, yakni harus adanya Surat Kuasa Khusus, warga negara Indonesia, dan mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang pengaturan perundang-undangan perpajakan. Namun pada Pasal 34 ayat (2) huruf c UU Pengadilan Pajak terdapat persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Hal ini tentunya dampak dari adanya kewenangan Menteri Keuangan terhadap pembinaan organisasi, administrasi Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak. Sehingga Menteri Keuangan memiliki juga kewenangan untuk mengatur wilayah profesi advokat dapat mempersulit Pemohon dengan mengubah peryaratan yang sebenarnya sudah dipenuhi oleh Pemohon untuk menjadi kuasa hukum di pengadilan pajak. Dalam melaksanakan tugas dan profesinya tentunya Pemohon merasa dirugikan karena pengadilan pajak tempat Pemohon dalam memperjuangkan kepentingan klien masih tercengkram dalam kekuasaan eksekutif.
“Sebagaimana kita tahu, rata-rata hakim pajak adalah mantan dari Direktorat Jenderal Pajak. Nah ini yang kemudian menimbulkan kerugian,” terangnya di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Berlakunya ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf a UU Pengadilan Pajak, Pemohon menjadi tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil karena ketentuan norma a quo tidak menjamin proses dalam memperjuangkan keadilan tidak terbebas dari intervensi kekuasaan eksekutif. Dengan dikabulkannya permohonan, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan oleh Pemohon tidak lagi atau tidak akan terjadi dikemudian hari. Viktor juga menerangkan Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak sudah pernah diajukan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus melalui Putusan Nomor 10/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Nomor 57/PUU-XVIII/2020.
Pembinaan Organisasi Pengadilan Pajak
Selain itu, Viktor menerangkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menyatakan pembinaan organisasi, Administrasi, dan keuangan bagi pengadilan pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Terhadap frasa Departemen Keuangan sepanjang tidak dimaknai Mahkamah Agung (MA) bertentangan secara bersyarat atau inskonstitusional bersyarat dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 untuk tinjauan terhadap sejarah perkembangan lembaga penyelesaian sengketa pajak Indonesia.
Dikatakan Viktor, dalam penjelasan Menteri Keuangan mewakili Pemerintah mengenai RUU tentang Badan Peradilan Pajak dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 5 Februari 2001, mengemukakan latar belakang dan pokok pikiran yang melandasi pengajuan RUU tersebut. Terdapat political will dari Pemerintah untuk menyerahkan urusan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan kepada MA. Hanya saja Pemerintah memandang Badan Peradilan Pajak adalah badan yang bersifat khusus terutama yang menyangkut materi sengketa, hukum acara, hakim yang mengadili, subjek pajak, sifat peradilan, dan materi putusannya, maka diperlukan hakim dan panitera yang mempunyai keahlian di bidang yuridis dan teknis perpajakan.
Oleh karena itu, Pemerintah memberikan jangka waktu paling 5 tahun, baru kemudian dapat dialihkan ke MA apabila segala sesuatu yang diperlukan untuk itu, antara lain sumber daya manusianya sudah dapat dipenuhi. Namun faktanya, hingga saat ini, pengalihan kewenangan pembinaan baik pembinaan organisasi, pembinaan administrasi dan Pembinaan Keuangan tidak kunjung dialihkan kepada MA. Penempatan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus tidak tercantum dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU Pengadilan Pajak. Kedudukan pengadilan pajak sebagai pengadilan khusus baru ada pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 9A.
Menurut Viktor, kebebasan/kemerdekaan institusional lembaga peradilan dengan sendirinya tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dimaksud. Karena hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan yang secara inheren hakim juga secara individual menyandang kemandiriannya sebagai hakim, bahkan seorang ketua pengadilan pun tidak boleh mengintervensi hakim yang sedang menangani perkara.
“Telah jelas dan terang benderang bahwa seluruh badan peradilan yang berada di bawah kekuasaan MA merupakan satu kesatuan yang harus dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Hal tersebut sesuai dengan amanat pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,” ujarnya.
Nurhidayat yang merupakan Pemohon prinsipal menjelaskan, apabila MK memiliki kekhawatiran jika dikabulkannya permohonan ini, maka akan berdampak secara sistematis terhadap ketentuan-ketentuan norma pasal-pasal dalam UU Pengadilan Pajak karena Pasal 5 ayat (2) adalah jantung dari kewenangan Kementerian Keuangan terhadap Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5), Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak. MK dapat menggunakan model putusan bersyarat dengan menyatakan Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak terhadap frasa “Departemen Keuangan” sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Agung” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan secara mutatis mutandis terhadap frasa “Keputusan Menteri” dan kata “Menteri” dalam Pasal 9 ayat (5), Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Peraturan Mahkamah Agung” dan “Mahkamah Agung”.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim memberikan saran perbaikan permohonan. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta agar Pemohon menguraikan kerugian konstitusional karena Pemohon tidak lengkap dalam menguraikan kerugian konstitusional.
“Hubungan sebab akibat antarkerugian konstitusional dan berlakunya undang-undang bahwa bersifat spesifik, aktual dimana itu? Diuraikan secara rinci yang bersifat kumulatif dari PMK. Saya lihat ini yang masih perlu. Sekali lagi saya tekankan untuk kerugian konstitusional yang dialami tidak banyak diuraikan,” ujarnya.
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan pemohon untuk memperkuat legal standing atau kedudukan hukum. “Di sini misalnya di halaman enam ketika menjelaskan pemohon itu pemohon memiliki spesialisasi penanganan perkara perpajakan, nah itu saya belum menemukan bukti itu, Pak Viktor. Kecuali SK penunjukan dari Gubernur itu. Masih ingat tidak ada putusan MK, advokat biasa itu bisa menjadi pembela di perpajakan kalau dia memiliki tambahan Pendidikan. Ketika dijelaskan disini memiliki spesalisasi penanganan perkara perpajakan itu tidak ada. Nah itu menjadi agak lemah itu. Sehingga itu harus di-clear-kan dan diperkuat. Karena apa? Jarak antara prinsipal dilantik sebagai advokat dengan SK penunjukan dari Pemda Kepulauan Riau itu kan dekat sekali belum sampai satu tahun. Nah kemudian mengklaim sebagai spesialisasi di bidang perpajakan, tolong dipertegas kalau tidak bisa melemahkan posisi anda dalam hal legal standing di permohonan ini,” terang Saldi.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan sistematika permohonan sudah cukup baik. Namun ia mengkhawatirkan kedudukan hukum Pemohon. “Saya lebih mengkhawatirkan soal legal standing saudara. Nurhidayat sudah punya privat perpajakan belum? Diperbaikan dilampirkan ketika anda sudah mempunyai privat itu sudah sebenarnya terhindar dari larangan yang ada di putusan MK itu. Pengecualian itu memang tidak semua advokat bisa beracara di pengadilan pajak tetapi MK kemudian memberikan peluang itu sepanjang sudah punya sertifikat perpajakan itu,” ujar Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan paling lambat diserahkan Senin, 10 April 2023 pukul 13.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M.Halim