JAKARTA, HUMAS MKRI – Dalam sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia terutama untuk pencalonan anggota legislatif baik itu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota, otoritas penuh untuk pencalonan anggota legislatif itu seratus persen ada di keputusan politik. Jadi, partai politiklah yang mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan apakah seorang calon anggota legislatif itu dapat dicalonkan atau tidak.
Alasan Pemohon yang menyatakan dalam sistem proporsional terbuka yang dicalonkan adalah orang-orang yang popular, tidak punya pengalaman mengelola organisasi partai politik, justru seharusnya para Pemohon yang menjadi kader politik, mempertanyakan hal tersebut kepada partai politiknya, kenapa lebih banyak mencalonkan orang-orang popular dan tidak mengutamakan kader partai politik yang sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun dalam mengurus dan mengelola organisasi partai politik.
“Di dalam pelaksanaan sistem pemilu proporsional terbuka, justru akan mendorong calon anggota legislatif untuk bersetia kepada dua aktor utama dalam proses penyelenggaraan pemilu, yaitu partai politik sebagai otoritas yang akan mencalonkan seorang anggota legislatif, kemudian pemilih sebagai aktor utama yang akan menentukan apakah calon anggota legislatif dapat dipilih atau tidak atau dapat terpilih sebagai anggota DPR atau tidak.”
Hal tersebut disampaikan oleh Fadli Ramadhanil, kuasa hukum Perludem selaku Pihak Terkait dalam sidang Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 yang digelar pada Kamis (16/3/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi. Permohonan perkara pengujian Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI Perjuangan), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Sidang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi. Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan Pihak Terkait Perludem dan Pihak Terkait Jansen Sitindaon.
Lebih lanjut Fadli mengatakan, argumentasi pemohon yang menyatakan dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka membuat anggota legislatif terpilih dan duduk di lembaga perwakilan menjadi bekerja untuk dirinya sendiri dan tidak lagi sesuai partai politik, menurut Pihak Terkait tidak tepat. Sebab dalam sistem lembaga perwakilan di Indonesia seorang anggota legislatif adalah bagian dari partai politik dan tidak bekerja untuk dirinya sendiri. Di dalam praktik pun anggota legislatif selalu bekerja sesuai dengan perintah partai politik. Oleh sebab itulah, di dalam lembaga perwakilan terdapat fraksi, kelompok fraksi yang tugas dan fungsi utamanya adalah menyatupadukan dan menjadi pemandu bagi seorang anggota legislatif di dalam menjalankan tugas-tugas perwakilannya.
“Para pemohon penting juga untuk mengingat kembali bahwa terdapat instrumen hukum yang sudah melindungi partai politik dari praktik seorang anggota legislatif yang bekerja untuk dirinya sendiri yaitu pergantian antar waktu. Partai politik punya otoritas penuh setelah menjalani serangkaian proses yang dilakukan di internal partai politik, untuk mengganti calon legislatif yang tidak lagi bekerja untuk kepentingan partai politik melainkan sudah bekerja untuk kepentingannya sendiri,” terangnya.
Hubungan Psikologis Anggota DPR dan Pemilih
Politisi Partai Demokrat Jansen Sitindaon dalam persidangan mengatakan para Pemohon berdalih pemilu berbiaya mahal menyebabkan anggota dewan yang terpilih melakukan korupsi. Soal prilaku koruptif elit politik itu tidak ada kaitannya dengan sistem pemilu proporsional terbuka.
“Mau sistem apapun untuk pemilu, baik terbuka atau tertutup, tetap terbukanya politik uang itu,” kata Jansen.
Jansen menjelaskan, terkait money politics sudah ada ancaman pidananya. Caleg bisa digugurkan jika terbukti menggunakan uang untuk mendapatkan suara.
Selanjutnya Jansen menanggapi dalil para Pemohon yang menganggap sistem proporsional terbuka sebagai pemborosan anggaran negara. Jansen mengatakan, hal ini menunjukkan para Pemohon tidak memahami bahwa demokrasi memang berbiaya mahal. Tapi dengan biaya mahal bertujuan mendapatkan perwakilan yang akuntabel dan demokratis. Ada tanggung jawab anggota dewan kepada pemilihnya, anggota dewan akan selalu merawat daerah pemilihannya, sebab jika tidak, dia tidak akan dipilih kembali. “Berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang menyebabkan tidak ada hubungan psikologis antara anggota dewan dengan pemilihnya,” lanjut Jansen.
Jansen berharap, ke depan Indonesia dapat menggunakan sistem distrik seperti yang dianut oleh negara lain. “Jadi dapil itu kecil sekali hanya satu dapil dengan alokasi satu kursi,” terangnya.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilu
Kader Parpol Pertegas Alasan Permohonan Uji UU Pemilu
Presiden Minta Penundaan Sidang Uji UU Pemilu
Penuhi Permintaan Sidang Luring, MK Tunda Sidang UU Pemilu
Sistem Proporsional Terbuka Bebaskan Pemilih Memilih Wakil Legislatif
PSI Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Partai Bulan Bintang Dukung Pemilu Coblos Partai Politik
Tiga Kader Partai Golkar Dukung Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Partai Garuda dan Partai Nasdem Dukung Sistem Proporsional Terbuka
PKS dan PSI Dukung Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Pro-Kontra Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal tersebut dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.