JAKARTA, HUMAS MKRI – Setiap negara berupaya untuk mewujudkan hak asasi manusia (HAM) melalui serangkaian pranata yang dimiliki dengan memuat HAM dalam amanat konstitusi. Upaya pemenuhan HAM ini telah diatur sedemikian komprehensif dalam UUD 1945. Terdapat sejumlah pasal yang dengan tegas mengatur aneka ragam HAM, termasuk hak asasi penyandang disabilitas, di antaranya, Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Hal demikian disampaikan oleh Alboin yang mewakili Komisi Nasional Disabilitas (KND) selaku Pihak Terkait, dalam sidang Pengujian Materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945, pada Senin (13/3/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara Nomor 93/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi lima Hakim Konstitusi lainnya, Alboin menjelaskan tiga aspek dalam upaya mewujudkan hak asasi penyandang disabilitas. Pertama, aspek filosopis. Aspek ini mengacu pada pandangan luhur bahwa penyandang disabilitas merupakan bagian dari manusia yang oleh John Locke sebut memifiki kodrat. Maka dari itu, penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan haknya dan mampu bertindak sebagai subjek hukum.
Kedua, aspek yuridis. Ditinjau dari amanat konstitusi kita, kerangka utamanya adalah penghormatan terhadap HAM, maka aturan turunan UUD 1945 kiranya mampu menerjemahkan dengan baik agar setiap produk perundang-undangan mengedepankan pengejahwantahan HAM menjadi semangat utama, termaksud regulasi yang berkaitan dengan penyandang disabilitas. Sejauh ini masih terdapat sejumlah regulasi yang masih bersifat disrkriminatif dan tidak menempatkan penyandang disabilitas sebagaimana mestinya, salah satunya adalah Pasal 433 KUHPerdata.
Ketiga, aspek sosiologis. Pemenuhan dan perlindungan terhadap penyandang disabilitas sejalan dengan prinsip sila kelima Pancasiia, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sejauh ini upaya untuk menciptakan keadilan bagi penyandang disabilitas masih memerlukan sejumlah upaya dengan menciptakan sarana dan prasarana yang memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk mampu meningkatkan kualitas hidupnya dalam mewujudkan kesejahteraan sosial.
Kewajiban Negara
Alboin menjelaskan, negara wajib memberikan pelindungan dan memenuhi hak para penyandang disabilitas. “Kewajiban di sini tidak hanya terfokus pada upaya pelindungan dari pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak penyandang disabilitas,” kata Alboin.
Negara melalui pranata yang dimilikinya berkewajiban menjalankan ketentuan yang berlaku berdasarkan asas legalitas. Negara juga wajib memperhatikan asas-asan umum yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.
“Dengan menjalankan sesuai dengan aturan yang berlaku dan asas umum, dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negara pun akan terjamin dengan baik, termasuk penyandang disabilitas” lanjut Alboin.
Pengaturan Hak Asasi Penyandang Disabilitas
Lebih lanjut Alboin menjelaskan, penyandang disabilitas memiliki kedudukan yang sama tanpa terkecuali dalam hubungan keperdataan yang diatur dalam KUHPerdata. Namun dalam beberapa Pasal di KUHPerdata dijelaskan bahwa tidak semua orang dianggap cakap hukum.
“Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, mereka oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum ialah orang yang belum dewasa (minderjarigen) dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan (die onder curatele gesteld zijin).
Alboin juga mengungkapkan, Pasal 433 KUHPerdata pun memiliki inkonsistensi internal. Menurutnya, Pasal ini menyebutkan kriteria "setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap" yang mengimplikasikan bahwa orang yang dapat dikenakan pengampuan harus secara konstan mengalami keadaan tidak cakap menggunakan pikiran.
Namun, frasa "sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya" menyiratkan sebaliknya, bahwa seseorang yang mengalami kondisi tidak mampu berpikir hanya pada saat tertentu saja tetap bisa dikenakan pengampuan. Inkonsistensi ini memperkeruh kriteria subjek yang dapat ditaruh di bawah pengampuan dan berpotensi menimbulkan kesewenang- wenangan pihak yang hendak mengambil keuntungan.
Selain itu, ia juga menerangkan, KUHPerdata tidak menspesifikasi ketiga keadaan sebagai persyaratan pengampuan ini. Namun, dalam pelaksanaannya, kriteria-kriteria ini kerap kali menyasar orang-orang yang memiliki disabilitas, yakni disabilitas psikososial dan disabilitas intelektual, juga mereka yang memiliki gangguan kognitif (seperti orang-orang yang memiliki cidera otak atau penyakit Alzheimer). Orang dengan disabilitas mental menjadi target pengampuan karena dianggap sebagai orang yang lemah akal budinya. Sedangkan orang-orang dengan disabilitas intelektual dianggap sebagai orang yang berada di dalam keadaan 'dungu'.
Dengan sudah diratifikasinya Konvensi Hak Penyandang Disabilitas ke dalam perundang-undangan Republik Indonesia, maka konsep substitute decision-making yang tertuang dalam Pasal 433 KUHPerdata tidak lagi relevan digunakan. Selain bertentangan dengan tujuan konvensi ini, muatan pasal ini juga menjadi ancaman yang nyata bagi penyandang disabilitas terutama dalam upaya mewujudkan hak asasi di bidang hukum. Sudah saatnya konsep ini diganti menjadi support decision-making.
Rekomendasi CRPD
Terkait dengan Pasal 433 KUHPerdata, Committee On The Rights Of The Persons with Disabilites (CRPD) merasa prihatin bahwa berdasarkan undang-undang nasional, orang dapat dianggap kurang kompeten khususnya penyandang disabilitas psikososial dan penyandang disabilitas intelektual, dan ditempatkan di bawah pengawasan.
Oleh karena itu, CRPD merekomendasikan agar Indonesia meninjau Pasal 433 KUHPerdata dengan maksud untuk menyelaraskannya dengan Konvensi untuk menjamin hak semua penyandang disabilitas atas pengakuan yang sama di hadapan hukum dan untuk membangun mekanisme pengambilan keputusan yang didukung di semua bidang kehidupan.
Hak Penyandang Disabilitas
Pada kesempatan yang sama, Komisioner Pengaduan Komnas HAM Hari Kurniawan menjelaskan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan norma-norma HAM dalam CRPD. Penggunaan istilah dalam pasal 433 KUHPerdata yaitu keadaan dungu, gila atau mata gelap tersebut bertentangan dengan Pasal 8 dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang mengharuskan negara pihak untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan yang segera, efektif dan sesuai untuk melawan stereotipe prasangka dan praktik-praktik yang merugikan penyandang disabilitas dalam kehidupan.
Pasal 433 KUHPerdata menyatakan setiap orang dewasa dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap harus ditempatkan di bawah pengampuan sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan sangat bertentangan dengan Pasal 12 CRPD yang menegaskan bahwasannya penyandang disabilitas berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
Dikatakan Hari, Pasal 433 KUHPerdata mencerminkan tindakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas mental sehingga penyandang disabilitas mental mempunyai kerentanan yang berlapis dalam tindakan pengampuan karena setiap tindakan harus dilakukan oleh pengampu.
Baca juga:
Menghapus Stigma Penyandang Disabilitas Mental dalam KUHPerdata
Permohon Perbaiki Uji Stigmatisasi Penyandang Disabilitas Mental
DPR Bahas Definisi Pengampuan dalam KUHPerdata
Penentuan Tindakan Pengampuan Tergantung pada Hakim
Ahli: Pengampuan Bukan Lagi Perlindungan
Fenomena Kematian Perdata Penyandang Disabilitas
MK Tunda Sidang KUHPerdata Soal Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas Mental Perlu Dukungan
Sebagai informasi, permohonan Nomor 93/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.
Pasal 433 KUHPerdata menyatakan, “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.
Kuasa hukum para Pemohon, Anang Zubaidy dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (26/9/2022) secara daring mengatakan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum.
Selain itu, sambung Anang, Pasal 433 KUHPerdata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodic yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya. Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap, dikarenakan sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830. Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas Hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu. Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.