JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 pada Kamis (2/3/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara Nomor 93/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi. Sidang tersebut digelar secara luring dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi enam Hakim Konstitusi. Adapun agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Saksi Pemohon dan Pihak Terkait Ripin.
Para Pemohon menghadirkan dua orang saksi yakni Salwa Paramitha dan Rhino Ariefiansyah. Salwa dalam kesaksiannya mengungkapkan, pada 2017 ia didiagnosis bipolar disorder yang merupakan bagian dari disabilitas mental. Bila mengacu UU Disabilitas, pada saat itu ia merasa ada yang berbeda dari dirinya.
“Saya memutuskan untuk pergi ke psikolog di suatu RS daerah Yogyakarta yaitu RS Akademik UGM. Lalu ternyata di psikolog ini saya dirujuk internal ke psikiater karena telah ada dugaan saya ini kena dugaan disabilitas mental. Ketika dibawa ke psikiater ternyata benar saya didagnosis sebagai bipolar disorder. Sejak tahun 2017 itu saya mengonsumsi obat-obatan secara rutin. Tetapi keadaan saya ini tidak memutuskan semangat saya yang saat itu saya duduk di bangku kuliah Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Dan pada 2020 saya bisa menyelesaikan kuliah saya, meskipun saya disabilitas mental, mampu menyelesaikan (kuliah) dalam waktu 3,5 tahun dengan nilai ujian akhir A,” kata Salwa.
Lebih lanjut Salwa menjelaskan, pada 2020 ia pernah dirawat inap kurang lebih dua minggu dan beberapa kali masuk UGD ketika ia sedang kambuh. Ketika ia telah lulus, ia memutuskan untuk mengikuti Pendidikan khusus profesi advokat di Universitas Indonesia (UI). Setelah itu, ia mulai melakukan magang sebagai pengacara di Lembaga Bantuan Hukum di Yogyakarta.
Pada 2021, sambungnya, ia mendaftar di Magister Ilmu hukum UGM, lalu pada November 2021 ia mendapatkan kesempatan beasiswa unggulan dari Kemendikbud.
“Di dalam beasiswa unggulan, saya mendapat fasilitas pendamping. Kemudian saya menunjuk ayah saya sebagai pendamping dimana ayah saya mendampingi saya sejak awal pendaftaran hingga saya tanda tangan kontrak dan hingga pelaksanaan kontrak sejak itu saya melakukan studi belajar. Pada waktu pendaftaraan ayah saya menjelaskan kepada saya mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dan menjelaskan mengenai konsekuensi apa yang akan saya dapatkan ketika menerima beasiswa unggulan Kemendikbud tersebut. Ayah saya sebagai pendamping menandatangani kontrak dan mendapat kompensasi dari Kemendikbud uang sebesar 1,7 juta sebulan untuk pendamping di luar dari apa yang saya dapatkan dari beasiswa tersebut,” terangnya.
Sedangkan Rhino Ariefiansyah menceritakan pada 2006 ia mengalami psikotik skizofrenia dengan gejala halusinasi dan delusi yang sifatnya tidak permanen khususnya mengalami kondisi kelelahan. Ia pernah berobat di RS Marzoeki Mahdi Bogor lalu melakukan pengobatan atau mengonsumsi obat selam lima tahun ditambah satu tahun dengan obat teknologi terbaru sehingga gejala-gejala tersebut bisa dikelola dengan baik.
“Hingga saat ini saya masih konsumsi obat anti psikotik dan dosis rendah secara rutin. Apabila mengacu UU Disabilitas saya masuk ke dalam kategori Disabilitas Mental dan mengacu pada Pasal 433 KUHPerdata saya dapat masuk dalam obyek yang harus diampu karena secara awam kondisi tersebut seringkali disebut gila,” kata Rhino.
Walaupun sebagai penyandang disabilitas mental dengan diagnosis psikotik skizofrenia, ia berhasil menyelesaikan pendidikan pascasarjana. Sejak 2016 ia bekerja sebagai pengajar dan peneliti di bidang antropologi UI. Sebagai penyandang disabilitas mental ia mengetahui dan memahami dirinya dan memerlukan dukungan positif di tempat ia bekerja dan beraktivitas.
“Istri dan keluarga saya juga mempunyai peran dan dukungan kepada saya khususnya ketika saya menjalankan tugas dan mengambil keputusan. Beberapa dukungan yang diberikan kepada saya antara lain tidak adanya diskriminasi dan stereotype tempat saya bekerja maupun rekan-rekan saya terkait kondisi saya sebagai penyandang disabilitas mental. Saya memperoleh akomodasi yang layak seperti waktu yang sesuai bagi saya untuk menyelesaikan tugas dan pelan-pelan diberikan kepada saya,” terang Rhino seraya menambahkan ia diberi waktu yang cukup untuk mengambil keputusan atau tindakan keperdataan untuk berkonsultasi dengan psikiater.
Tragedi Pengampuan
Pihak Terkait bernama Ripin merupakan seorang pedagang. Dalam persidangan yang diwakili kuasanya, Viktorianus Gulo, ia bercerita setelah kedua orang tuanya meninggal, ada beberapa harta warisan berupa emas dan sejumlah uang. Harta berupa emas tersebut kemudian diuangkan dan disimpan di Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sebelum dilakukan pengampuan, Ripin didatangi tiga orang yang tidak dikenal yang kemudian memborgol, memeriksa, dan memasukkan Ripin ke dalam sebuah mobil. Setelah itu, kakak kandung dan kakak iparnya membawa Ripin ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) tanpa dilakukan pemeriksaan oleh petugas RSJ.
Ripin diminta memakai pengampu karena dinilai tidak memiliki kecakapan hukum. Padahal Ripin hingga saat ini tidak memilki gangguan jiwa. Seharusnya Ripin tidak dapat dinyatakan kehilangan pengakuan hukum. Hal tersebut jelas bertentangan dengan jaminan konstitusional yang menyatakan hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sebagaimana diatur dalam Pasal 28i ayat (1) UUD 1945. Ripin sengaja dimasukkan ke dalam RSJ yang kemudian dijadikan dasar pengampuan oleh pengadilan.
“Pihak terkait dicap mengalami gangguan jiwa sehingga dianggap tidak dapat melakukan tindakan keperdataan termasuk memberikan kuasa kepada advokat untuk memperjuangkan hak-haknya,” tegas Viktorianus secara daring.
Baca juga:
Menghapus Stigma Penyandang Disabilitas Mental dalam KUHPerdata
Permohon Perbaiki Uji Stigmatisasi Penyandang Disabilitas Mental
DPR Bahas Definisi Pengampuan dalam KUHPerdata
Penentuan Tindakan Pengampuan Tergantung pada Hakim
Ahli: Pengampuan Bukan Lagi Perlindungan
Fenomena Kematian Perdata Penyandang Disabilitas
MK Tunda Sidang KUHPerdata Soal Penyandang Disabilitas
Sebagai informasi, permohonan Nomor 93/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.
Pasal 433 KUHPerdata menyatakan, “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.
Kuasa hukum para Pemohon, Anang Zubaidy dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (26/9/2022) secara daring mengatakan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum.
Selain itu, sambung Anang, Pasal 433 KUHPerdata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodic yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya. Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap, dikarenakan sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830. Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas Hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu. Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.