JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pada Rabu (1/3/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 21/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Gede Eka Rusdi Antara dan Made Adhi Keswara yang keduanya merupakan Dokter Spesialis Bedah.
Dalam sidang yang dipimpin Panel Hakim Konstitusi Suhartoyo, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan pihaknya menitikberatkan pada legal standing dan nebis in idem. “Untuk pasal yang diuji adalah Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang menyatakan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MK DKI) mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia. Terhadap frasa “Mengikat dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” bertentangan secara bersyarat atau inskonstitusional bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G UUD 1945,” ujarnya.
Dikatakan Viktor, Pemohon I dalam menjalankan praktik kedokteran memiliki persoalan yakni dilaporkan MK DKI berdasarkan pengaduan Nomor 7 tahun 2022. Padahal dalam melaksanakan praktik kedokteran operasi terhadap pasien, Pemohon I dan Pemohon II telah menjalankan praktik berdasarkan disiplin keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Dalam menjalankan pemeriksaan di MKDKI, Pemohon I dan Pemohon II mendapatkan proses yang tidak transparan dan tidak berkeadilan serta tidak terdapat pelanggaran atas hak-hak yang dijamin oleh konstitusi yang kerap terjadi selama proses MKDKI. Adapun pelanggaran-pelanggaran atas hak Pemohon I dan Pemohon II dalam memeriksa teradu MKDKI membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin disebut MPD yang di dalamnya terdapat unsur Sarjana Hukum, padahal fungsi MPD adalah untuk memeriksa adanya pelanggaran disiplin bagi dokter saat menjalankan praktek kedokteran,” terangnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Pemohon I dan Pemohon II didampingi oleh kuasa teradu, namun kuasa pihak teradu tidak dapat melakukan pembelaan ataupun memberikan keterangan menurut kuasa teradu perlu diberikan dalam rangka membela hak teradu sebagai pemberi kuasa atau hanya mencatat saja.
“Lalu, ketiga saat memeriksa pemohon I dan pemohon II sebagai teradu MPD kerap berperan sebagai seorang penyidik dan penuntut saat memeriksa tersangka bahkan sebelum putusan Majelis Pemeriksa sudah memaksa untuk dengan pertanyaan yang diulang-ulang kepada pemohon I dan pemohon II untuk mengakui telah melakukan kesalahan pada saat melakukan praktk kedokteran,” ungkap Viktor.
Keempat, Viktor melanjutkan, saksi dan ahli yang dihadirkan oleh pemohon diperiksa oleh MPD tanpa dihadiri oleh pemohon. Sehingga pemohon atau teradu tidak mengetahui apa yang ditanyakan oleh MPD oleh Majelis. Menurutnya, UU Praktik Kedokteran oleh para pemohon diminta untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (1) sepanjang frasa “Mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” tidak dimaknai bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi dan KKI serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata atau pidana.
Selain itu, Viktor mengatakan pasal yang diujikan telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena mendudukan KKI sebagai lembaga yang berada di bawah MKDKI karena keputusan MKDKI yang langsung mengikat KKI dalam membuat KKI bagi teradu. Padahal putusan MPD yang memberikan sanksi dituangkan dalam keputusan MKDKI pasal 69 ayat (3) adalah rekomendasi. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan perkara permohonan para pemohon berkaitan erat dengan Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022. “Saya katakan berkaitan erat karena Pemohonnya sama dengan Pemohon perkara ini juga merupakan Pemohon Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022 begitu juga kuasa hukumnya. Oleh sebab itu, titik beratnya ini bagaimana menjelaskan bahwa apakah ini nebis in idem itu nanti betul-betul dielaborasi atau diurai. Selain itu dalil yang diuraikan pemohon pada halaman 15 17 itu tergambar seperti itu. Dalil ini dipisah dari dalil mengenai pokok permohonan, bagian tersendiri,” ujar Wahiduddin.
Selain itu, Wahiduddin juga mengatakan karena ini merupakan berkaitan erat dengan perkara 119/PUU-XX/2022 tersebut yang tampak adalah meminta penegasan MK mengenai sifat putusan MKDKI apakah mengikat atau bersifat rekomendasi.
Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan para pemohon untuk berhati-hati agar permohonan ini tidak kabur. “Kenapa jadi kabur? Karena saudara tidak memasukkan dalam petitum itu semua narasi saudara sampaikan di posita maupun di petitum. Saudara menggabungkan rekomendasi dan mengikat. Jadi ini kan ibaratnya anda menginsert satu frasa rekomendasi yang ada dalam Pasal 69 ayat (1),” ungkap Guntur.
Sebelum menutup persidangan Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan perbaikan permohonan paling lambat diterima Kepaniteraan MK pada Selasa, 14 Maret 2023 pukul 13.30 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana