JAKARTA, HUMAS MKRI – Meski memiliki kedudukan yang sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945, namun terdapat perbedaan batas usia panitera antara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Mahkamah Agung (MA). Perbedaan tersebut dilatarbelakangi dari proses pengisian jabatan Panitera di MK dengan MA.
Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi III Taufik Basari yang mewakili DPR dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) pada Rabu (15/2/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang diregistrasi MK dengan Nomor 121/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Syamsudin Noer sebagai Pemohon I dan Triyono Edy Budhiarto sebagai Pemohon II. Kedua Pemohon merupakan PNS yang bertugas sebagai Pengadministrasi Registrasi Perkara dan Panitera Muda di MK.
Lebih lanjut Taufik mengatakan, proses pengisian jabatan kepaniteraan di MA berasal dari jabatan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Ia menyebut ketentuan mengenai batas usia pensiun mengikuti ketentuan usia pensiun ketua atau wakil ketua pengadilan tinggi, hakim pengadilan tinggi, dan hakim pengadilan negeri. Dengan demikian, lanjutnya, batas usia pensiun untuk jabatan kepaniteraan di MA, yaitu berusia 67 tahun untuk panitera dan panitera muda sebagaimana usia pensiun hakim pengadilan tinggi. Kemudian, untuk panitera pengganti berusia 65 tahun sebagaimana usia pensiun hakim pengadilan negeri.
Sementara, lanjut Taufik, jabatan kepaniteraan di MK merujuk pada Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 Perpres 49 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa jabatan di kepaniteraan MK merupakan jabatan fungsional yang dinilai melalui angka kredit. Dengan demikian, sambungnya, jabatan kepaniteraan di MK merupakan aparatur negara atau PNS dan memiliki kedudukan yang sama dengan jabatan fungsional yang sejenis lainnya, yaitu kepaniteraan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha.
“Pada saat ini, UU menentukan panitera MA berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun panitera MA adalah 67 tahun sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh sebab itu, untuk menentukan batas usia panitera MK, Mahkamah perlu menetapkan batas usia yang adil bagi panitera MK yakni 62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Ke depan, pembentuk UU perlu menetapkan persyaratan bagi calon panitera di MA dan MK,” terang Taufik.
Ubah Pendapat Hukum
Taufik menjelaskan jika para Pemohon menginginkan adanya batas usia pensiun panitera berubah, yakni panitera muda di MK menjadi 67 tahun dan usia panitera pengganti menjadi 65 tahun, maka dapat dikatakan para pemohon menginginkan adanya perubahan pendapat hukum atau pendirian Majelis Hakim dari putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012. "Namun dalam permohonan a quo para pemohon tidak menjelaskan adanya satu urgensi atau keadaan luar biasa yang dapat mengubah pendirian hakim pada putusan tersebut,” ujar Taufik.
Selain itu, Taufik juga mengatakan, pembentukan Pasal 7A ayat (1) UU MK merupakan bagian dari kebijakan hukum terbuka pembentuk UU dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal norma yang diuji, ia menyatakan DPR RI mengutip putusan MK di antaranya Putusan MK Nomor 51,52,59 PUU-VI/2008, Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005, dan Putusan 39/PUU-VIII/2010. “Oleh karena itu, pasal a quo selain merupakan norma yang tergolong bagi kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk UU atau open legal policy, tidak bertentangan dengan UUD 1945,” imbuhnya.
Masuk Revisi UU MK
Terkait pernyataan DPR, sejumlah hakim konstitusi memberikan tanggapan termasuk di antaranya Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam tanggapannya, Saldi menyebut baik UU MA maupun UU MK dinilainya tidak mempedulikan mengenai persoalan kepaniteraan di lingkungan kekuasaan kehakiman. “Karena kekuasaan kehakiman ada dua cabang, yakni MA dan MK, apalagi saat ini UU MK sedang proses revisi. Tidak salah jika diperluas (revisinya) mencakup hal-hal yang saat ini sedang disidangkan,” ucapnya.
Saldi menyarankan agar DPR mendesain ulang keberadaan kepaniteraan di MK. Ia berharap agar masalah seperti ini tidak diserahkan kepada eksekutif terkait pengaturannya. “Jangan dibiarkan soal-soal begini menjadi wilayah kepada eksekutif mengaturnya karena akan membahayakan kemandirian kekuasaan kehakiman nantinya,” sarannya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan tentang jabatan panitera sebagai jabatan fungsional dalam fungsi administratif peradilan dalam UU MK. Menurutnya, penting bagi hakim diberikan penjelasan asal-usul mengenai jabatan fungsional tersebut.
“Apakah pembahasan mengenai jabatan fungsional dalam pengertiannya di dalam wilayah pemegang kekuasaan kehakiman itu pernah terbahaskan baik itu yang berkaitan dengan UU MK ini, apa sesungguhnya jabatan fungsional? Bisa dipertegas apa jabatan fungsional itu? Kemudian jabatan fungsional ini memang ada keberagamannya satu sama lain, sementara kita tahu disebutkan di dalam PP itu jabatan fungsional ditentukan jabatan fungsional utama, madya dan pratama. Bagaimana kemudian di-revert ke dalam jabatan yang namanya kepaniteraan. Apakah kemudian itu memang hal yang tidak memungkinkan atau kemudian sangat berbeda wilayah pengaturan jabatan fungsionalnya. Mohon nanti bisa dijelaskan seperti itu,” ujar Enny.
Baca juga:
Panitera Muda MK Uji Ketentuan Batas Usia Pensiun Panitera
Panitera Muda MK Perbaiki Batu Uji Pengujian Ketentuan Batas Usia Pensiun
Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan, Sidang Uji UU MK Ditunda
Sebelumnya, para Pemohon mempersoalkan Pasal 7A ayat (1) UU MK. Pasal 7A ayat (1) UU MK menyatakan, “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan usia pensiun 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti”. Pemohon mendalilkan dalam kenyataan hukum para pemohon menemukan adanya perbedaan usia pensiun antara panitera MK dengan usia pensiun panitera yang ada di Mahkamah Agung (MA). Para Pemohon mengajukan permohonan tersebut karena antara MA dan MK adalah lembaga negara yang sederajat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan memiliki sumber kewenangan yang sama.
Dalam permohonannya, para Pemohon menjelaskan telah dirugikan secara konstitusional. Pemohon I di masa depan, pada saat menjadi Panitera Pengganti, Panitera Muda dan Panitera di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi tidak mendapatkan usia pensiun yang sama dengan Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti di Mahkamah Agung (MA), sedangkan Pemohon II saat ini tidak mendapatkan usia pensiun yang sama dengan Panitera Muda di MA, dan apabila di masa depan Pemohon II menjadi Panitera, Pemohon II tidak mendapatkan usia pensiun yang sama dengan Panitera di MA. Padahal keberadaan MA dan MK berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 merupakan Lembaga Negara pelaksana kekuasaan kehakiman yang kedudukannya sederajat.
Selain itu, para Pemohon memandang adanya norma a quo telah menimbulkan diskriminasi yang nyata kepada para Pemohon dimana norma a quo telah membedakan usia pensiun Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti di MK yakni 62 (enam puluh dua) tahun dengan ketentuan usia pensiun di MA. Untuk itu, MK diminta para Pemohon menyatakan Pasal 7A ayat (1) UU MK tidak bertentangan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai usia pensiun 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Panitera dan Panitera Muda serta usia pensiun 65 (enam puluh lima) tahun bagi Panitera Pengganti. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F