JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan pengujian materiil Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan pengujian UU Pemilu ini diajukan oleh Partai Berkarya. Sidang pengucapan Putusan Nomor 117/PUU-XX/2022 digelar pada Selasa (31/1/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, berkenaan dengan permohonan Pemohon, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah, yaitu apakah pengaturan persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dan dilindungi Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berkenaan dengan masalah tersebut, pertimbangan hukum Mahkamah akan disandarkan pada ketentuan UUD 1945, terutama norma Pasal 7 UUD 1945. Tidak hanya itu, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 juga berkaitan erat dengan norma persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden, pertimbangan hukum Mahkamah juga akan menyentuh ketentuan norma Pasal 6 UUD 1945, in casu norma Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Kesemua norma Konstitusi tersebut merupakan hasil dari perubahan UUD 1945 yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR). Jamak diketahui, tujuan pokok perubahan UUD 1945 selama reformasi konstitusi 1999-2002, antara lain adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi. Apabila diletakkan dalam konteks sistem pemerintahan, sistem atau paham demokrasi yang dipilih oleh pengubah UUD 1945 adalah demokrasi presidensial.
“Ketentuan norma Pasal 7 UUD 1945 merupakan salah satu norma dalam UUD 1945 yang diubah untuk pertama kalinya dalam agenda reformasi konstitusi tahun 1999. Sebagaimana diketahui, sebelum perubahan, Pasal 7 UUD 1945 menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Secara normatif, Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan tersebut tidak mengatur untuk berapa kali periode seseorang dapat menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Bahkan, dengan adanya frasa “sesudahnya dapat dipilih kembali”, membuka atau memberi kesempatan bagi seseorang untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden tanpa pembatasan periode secara jelas. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, rumusan fleksibel Pasal 7 UUD 1945 inilah yang digunakan sebagai basis atau dasar argumentasi untuk mengangkat Presiden tanpa batasan periode pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Setelah perubahan, norma Pasal 7 UUD 1945 menjadi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan”,” ujarnya.
Lebih lanjut Mahkamah dalam pertimbangannya mengatakan, sekalipun norma Pasal 7 UUD 1945 berhasil diubah dalam perubahan pertama pada tahun 1999, dinamika ketatanegaraan pada awal era reformasi menunjukkan Pasal 7 UUD 1945 telah terlebih dahulu diubah sebelum perubahan UUD 1945. Karena Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan dinilai telah membuka celah (loop hole) bagi rezim Orde Baru merekayasa begitu rupa sehingga Soeharto menjadi Presiden lebih dari 32 tahun, Sidang Istimewa MPR 1998, sepakat untuk membatasi periodesasi masa jabatan Presiden dalam produk hukum bernama Ketetapan MPR, yaitu: Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Konsiderans “menimbang” huruf c Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menyatakan, “dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, tidak adanya pembatasan berapa kali Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali untuk memegang jabatannya telah menimbulkan berbagai penafsiran yang merugikan kedaulatan rakyat/kehidupan demokrasi”. Oleh karena itu, anggota MPR bersepakat untuk mengubah substansi Pasal 7 UUD 1945 tanpa menunggu perubahan UUD 1945 sesuai Pasal 37 UUD 1945 menjadi: “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” [vide Pasal 1 Tap MPR No XIII/MPR/1998].
Ketika tercapai kesepakatan untuk mengubah UUD 1945, MPR mengadopsi substansi Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menjadi salah satu materi perubahan UUD 1945 dalam perubahan pertama tahun 1999. Salah satu alasan mengangkat substansi Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menjadi substansi konstitusi, yaitu pengaturan di bawah konstitusi dinilai tidak memadai untuk materi yang sangat mendasar seperti pembatasan periodesasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Sekalipun secara konstruksi terdapat “sedikit perbedaan” antara norma Pasal 1 Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 dengan norma Pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan, yaitu dari “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” menjadi “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan”, namun secara substansi kedua norma dimaksud membatasi kesempatan seseorang untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden tidak melebihi dari dua periode masa jabatan. Bahkan, selama pembahasan perubahan Pasal 7 UUD 1945 ditemukan beberapa original intent yang terkait langsung dengan pembatasan dimaksud, misalnya, ihwal dua kali masa jabatan tersebut apakah secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Berkenaan dengan hal tersebut, para pengubah UUD 1945 bersepakat, substansi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksudkan baik secara berturutturut maupun tidak berturut-turut [vide Naskah Komprehensif UUD 1945 Buku IV, Jilid 1, hlm. 477]. Bahkan, apabila diletakkan dalam konteks demokrasi presidensial, batasan dua kali berturut-turut dimaksudkan merupakan batasan maksimal seseorang untuk dapat menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
“Karena Pasal 7 UUD 1945 telah memberikan pembatasan yang jelas ihwal masa jabatan dan periodesasi masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden, secara normatif diperlukan pengaturan lain dalam UUD dan ditindaklanjuti dalam peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi untuk mendukung agar pembatasan tersebut terwujud dalam proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden, terutama berkenaan dengan syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden,”ujar Saldi.
Syarat Capres dan Cawapres
Berkenaan dengan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, sambung Saldi, secara konstitusional diatur dalam Pasal 6 UUD 1945. Dalam hal ini, norma Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendak sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Karena norma konstitusi tidak mungkin mengatur secara detail persyaratan tersebut, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 mengatur lebih lanjut dengan menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Dikatakan Saldi, salah satu persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sebagaimana disebutkan di atas adalah, belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama yang diikuti surat pernyataan belum pernah menjabat selama 2 (dua) periode tersebut adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan, khusus Penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan maksud “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun juga merupakan penegasan terhadap maksud Pasal 7 UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, kedua norma dimaksud adalah untuk menjaga konsistensi dan untuk menghindari degradasi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksud.
Sehingga, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut mahkamah, telah ternyata Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Bukan Parpol Peserta Pemilu 2024
Kendati demikian, dalam pengambilan putusan ini Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Daniel mengatakan, Pemohon bukan partai politik peserta Pemilu 2024. Pemohon juga tidak dapat membuktikan bahwa Pemohon sedang menjalin koalisi atau bergabung dengan partai politik lain untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2024. Fakta hukum tersebut semakin menegaskan tiadanya kerugian dan hubungan kausalitas antara kerugian Pemohon dengan berlakunya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017, sehingga tiada pula hak konstitusional Pemohon yang hendak dipulihkan (redressability). Dengan demikian, syarat “adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi” dengan sendirinya tidak terpenuhi.
“Saya berpendapat bahwa berlakunya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Pemohon, oleh karenanya Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam perkara a quo dan Mahkamah seharusnya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard),” tegas Daniel.
Baca juga:
Partai Berkarya Uji Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 117/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Berkarya, yang diwakili oleh Muchdi Purwopranjono sebagai Ketua Umum DPP Partai Berkarya dan Fauzan Rachmansyah sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Berkarya.
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Kamis (15/12/2022), Partai Berkarya (Pemohon) melalui kuasa hukum M. Malik Ibrahim menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu telah membatasi atau mereduksi hak konstitusional Pemohon untuk mengajukan calon presiden atau calon wakil presiden karena sedemikian rupa mengatur persyaratan calon presiden atau wakil presiden yaitu belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama atau sering disebut selama 2 (dua) periode yang dibuktikan dengan surat pernyataan.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 terbagi atas dua kalimat yaitu: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Apabila membaca secara utuh satu kesatuan norma Pasal 7 UUD 1945 yang saling bertalian, maka satu paket pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang sedang memegang jabatan selama lima tahun lah yang sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan (lima tahun).
Apabila individu presiden atau wakil presiden yang sedang menjabat mencalonkan diri atau dicalonkan dengan memilih pasangan baru lainnya yang berbeda untuk menjadi calon wakil presiden atau calon presidennya, maka terhadap individu presiden atau individu wakil presiden yang sedang menjabat tersebut tidak terikat dan tidak berlaku ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan karena pasangan mereka (individu presiden atau individu wakil Presiden) dalam pemilihan selanjutnya bukanlah orang yang sedang menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, melainkan orang baru lainnya yang berbeda. Oleh karena itu, dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.