JAKARTA, HUMAS MKRI – Pengecualian pemrosesan data pribadi oleh orang perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dikarenakan dalam data pribadi melekat hak privasi perseorangan.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Supriansa yang mewakili DPR dalam sidang ketiga uji materiil UU PDP yang digelar pada Senin (30/1/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. sidang hari ini digelar untuk dua perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 108/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Leonard Siahaan dan Perkara Nomor 110/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Dian Leonaro Benny.
“Pengecualian pemrosesan data pribadi oleh orang perseorangan dalam kegiatan pribadi datau rumah tangga merupakan ranah privat masing-masing individu sebagai pemilik data yang melakukan pemrosesan data pribadi,” papar Supriansa secara daring.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut, Supriansa menambahkan dalam data pribadi seseorang melekat hak privasi perseorangan yang memiliki data pribadi tersebut. Maka, untuk melindungi hak konstitusional tersebut, negara wajib hadir dalam memberikan perlindungan dari potensi terjadinya pelanggaran dan penggunaan oleh pihak lain. Hal ini juga menjadi pertimbangan pembentuk undang-undang dengan mencantumkan UU PDP.
Dalam keterangannya, Supriansa mengatakan dalam pelaksanaannya, perlindungan data pribadi tetap harus memberikan penghormatan terhadap data pribadi sebagai privasi yang dimiliki oleh pemilik data. Batasan dalam menggunakan data pribadi oleh pemilik data merupakan bagian dari hak privasi yang dimiliki oleh pemilik data.
“Terkait penghormatan sebagai data pribadi tersebut, maka pemrosesan data pribadi oleh pemilik data untuk kepentingan pribadi atau rumah tangga dikecualikan dari pelaksanaan perlindungan data pribadi sebagai ranah publik dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini diakomodir dalam UU 27/2002 yang memberikan pengecualian dala Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022,” urai Supriansa.
Kegiatan Ekonomi Rumah Tangga
Sementara itu, berkaitan dengan pokok perlindungan pribadi dalam bisnis pada sebuah kegiatan rumah tangga sejatinya telah menjadi objek perlindungan undang-undang. Supriansa menyebutkan bahwa setiap transaksi ekonomi dengan sistem elektronik yang dilakukan dalam kegiatan rimah tangga, telah mendapat perlindungan dan pemerintah pun telah berperan untuk melindunginya. Dalam pelaksanaannya, kegiatan perdagangan dalam rumah tangga diatur Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Di dalamnya, sambung Supriansa, mengatur pemanfaatan sistem elektronik yang dikhususkan untuk perdagangan yang dilakukan dengan berbagai modal, baik online maupun offline, oleh pelaku usaha dan konsumen pribadi serta instansi penyelenggaraan negara. “Maka pengecualian dalam pasal a quo telah memberikan perlindungan pada hak privasi pengguna untuk kegiatan pribadi dan rumah tangga. Maka dalil Pemohon adalah tidak benar dan hanya merupakan kekhawatiran Pemohon saja,” jelas Supriansa.
Sementara terkait dengan dalil Pemohon Perkara 110/PUU-XX/2022, Supriansa menegaskan bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU PDP telah mengatur sedemikian jelas tentang prinsip-prinsip perlindungan data pribadi. Sehingga pemrosesan dari sebuah data pribadi untuk pertahanan dan keamanan tersebut telah memenuhi prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam sidang tersebut, Pemerintah yang seharusnya memberikan keterangan meminta penundaan persidangan. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Ketua Pleno Anwar Usman dan dibenarkan oleh kuasa presiden. “Karena kuasa presiden belum siap untuk memberikan keterangan, maka sidang ini ditunda dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah. Untuk itu, sidang ditunda hingga Senin, 13 Februari 2023 pukul 11.00 WIB,” ujar Anwar.
Baca juga:
Menyoal Keamanan Data Pribadi Bagi Perseorangan dan Usaha Berskala Rumah Tangga
Pemohon Menyoal Data Pribadi Ajukan Perbandingan Norma Uji UU PDP
Sebagai informasi, Pemohon Perkara Nomor 108/PUU-XX/2022 berpandangan UU PDP belum memberikan payung hukum bagi pengguna data pribadi khususnya bagi pelaku bisnis e-commerce berskala rumah tangga. Sebab dalam pelaksanaan usaha ini, rentan akan kebocoran data utamanya saat transaksi finansial yang dapat saja dilakukan oleh peretas dengan melakukan cybercrime economy atas insiden kebocoran data. Bahwa pemanfaatan teknologi informasi mengakibatkan data pribadi seseorang mudah untuk dikumpulkan dan dipindahkan dari satu pihak ke pihal lain tanpa sepengetahuan subjek data pribadi sehingga hal ini mengancam hak konstitusional subjek data pribadi. Selain itu, perlindungan data pribadi tergolong pada perlindungan HAM. Dengan demikian pengaturan mengenai data pribadi menjadi manifestasi pengakuan dan perlindungan atas hak dasar manusia. Oleh karenanya, UU PDP tidak menjawab perlindungan terhadap hak subjek data pribadi.
Sementara Pemohon Perkara Nomor 110/PUU-XX/2022 mengatakan pasal yang diajukan untuk diuji dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Bahwa perlindungan data diperlakukan sebagai bagian dari perlindungan privasi sebagai individu. Menurut Pemohon privasi berkaitan dengan hak yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada hak lain, tetapi hak tersebut akan hilang apabila seseorang mempublikasikan hal-hal yang bersifat pribadi pada masyarakat umum.
Dalam pelanggaran privasi terdapat kerugian yang sulit untuk dinilai. Kerugian yang dialami dapat mengganggu kehidupan pribadi sehingga pihak korban wajib mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita tersebut. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU PDP tidak secara terang dan jelas menjelaskan secara pasti dan akurat mengenai yang dimaksud dengan ‘kepentingan pertahanan dan keamanan nasional’. Sehingga pasal a quo berpotensi menjadi pasal yang multitafsir dan bermasalah di kemudian hari dan digunakan sebagai justifikasi untuk mengecualikan hak-hak subjek data pribadi. Berdasarkan uraian argumentasi yang telah disampaikan, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memutus permohonan menyatakan Pasal 15 ayat (1) huruf a bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, atau menyatakan Pasal 15 ayat (1) huruf a bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuaatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘kepentingan pertahanan dan keamanan nasional’ adalah kepentingan yang berkaitan dengan upaya untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P.
Humas : Fitri Yuliana