JAKARTA, HUMAS MKRI - Begitu majunya pemikiran para pendiri bangsa Indonesia pada 1945. Tak hanya bagian Pembukaan yang sudah jauh melampaui pemikiran kebangsaan. Perdebatan tentang hak asasi manusia (HAM) juga berulang kali muncul dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan pada 1945. Perdebatan serupa tentang HAM muncul kembali pada amendemen UUD 1945 pada 1999-2002, yang menghasilkan seperangkat pasal tentang HAM yang sangat baik, meski tetap tak luput dari kekurangan. Misalnya, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Demikian disampaikan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti saat menyampaikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam sidang keenam uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Senin (16/1/2023). Sidang untuk Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III) ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam konteks relasi internasional, sambung Bivitri, pada saat kita di sini berbicara dan berdiskusi, banyak orang di negara tetangga kita yang mengalami penyiksaan dan pembunuhan yang sangat sistematis dan masif. Sebagian di antaranya terpaksa menjadi pengungsi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Di titik inilah, tidak hanya tanggung jawab kemanusiaan kita yang seharusnya tersentuh, tetapi tanggung jawab Indonesia sebagai negara juga muncul. Tak hanya korbannya yang harus diperhatikan, tetapi pelanggaran HAM di Myanmar harus dihentikan, sesuai dengan mekanisme hukum yang ada. Masalahnya, dalam konteks penegakan HAM, proses penegakan hukum sulit dilakukan di Myanmar karena dua faktor. Pertama, pelaku merupakan bagian dari junta militer yang sedang berkuasa. Kedua, Myanmar bukanlah negara pihak dalam peradilan HAM atau pidana internasional,” imbuhnya.
Menurut Bivitri, isu yang muncul sudah harus dilepaskan dari isu diplomasi antarnegara, melainkan isu hukum hak asasi manusia. Adanya Pengadilan HAM di Indonesia merupakan sebuah ruang hukum yang ideal untuk menjalankan tanggung jawab negara tentang HAM. Karena itulah, perkara a quo menyoal batasan tentang siapa yang bisa menjadi pihak dalam pengadilan HAM Indonesia.
Pertanggungjawaban Negara
Lebih lanjut Bivitri menerangkan, salah satu perkembangan hukum internasional terkait dengan pertanggungjawaban negara (state obligation) terhadap korban dan masyarakat adalah untuk mengungkapkan fakta dan keadaan terkait kejahatan masif dan sistemik HAM, termasuk mengungkapkan pelaku kejahatan dan dalangnya. Tanggung jawab negara itu berfokus kepada kejahatan HAM berupa penyiksaan (torture), pembunuhan massal (genoside), penghilangan orang (disappearances), kejahatan perang (war crimes), dan/atau kejahatan atas kemanusiaan (crimes againts humanity).
“Pertanggungjawaban tersebut tentu dibebankan kepada negara terkait. Namun bagaimana jika negara dikuasai oleh pihak-pihak yang merupakan bagian dari pelaku kejahatan? Tanggung jawab negara tersebut mustahil untuk dipenuhi. Apalagi jika penyelenggaraan negara yang dikelola pelaku kejahatan HAM diselenggarakan dengan relatif stabil. Tentu akan membutuhkan waktu panjang untuk menuntut pertanggungjawaban negara kepada pelaku. Padahal pertanggungjawaban negara itu mestinya tidak sekedar kepada negara tempat kejahatan HAM terjadi tetapi juga negara tetangga dan dunia yang memiliki tanggung jawab yang sama atas nama kemanusiaan, termasuk Indonesia,” terang Bivitri.
Pembedaan Hak dalam UUD 1945
Dalam konstitusi Indonesia, Bivitri menjelaskan, UUD 1945 terdapat dua model hak konstitusional, yaitu hak asasi manusia dan hak warga negara. Hak asasi manusia adalah bentuk tanggung jawab negara untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fullfill), dan melindungi (to protect) terhadap seluruh orang dari mana pun asalnya.
Sedangkan hak warga negara merupakan hak istimewa yang diperoleh khusus oleh warga negara Indonesia saja. Pembedaan hak dalam UUD 1945 tersebut biasanya didahului dengan kata “setiap orang” untuk menjelaskan bahwa itu adalah hak asasi manusia yang beban pertanggungjawaban negara kepada seluruh manusia. Misalnya, ketentuan Pasal 28A UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Sementara kata “setiap warga negara” merupakan ketentuan yang menjelaskan pertanggungjawaban negara kepada warga negaranya secara khusus. Misalnya ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Pengelompokan hak konstitusional dalam UUD 1945 itu dapat menjelaskan cara pandang konstitusional tanggung jawab Indonesia dalam menghadapi kejahatan HAM internasional, termasuk terhadap pelaku kejahatan HAM lintas batas negara. Dalam Pembukaan UUD 1945, jelas Indonesia memosisikan diri sebagai negara yang “ikut melaksanakan ketertiban dunia.”
Bahkan terdapat ketentuan yang terang dalam konstitusi yang berkaitan dengan perlindungan yang terkait kasus Myanmar yang mana dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Ketentuan itu memperjelas bahwa konstitusi Indonesia bertujuan melindungi hak setiap orang, termasuk warga negara asing.
Perlindungan dan Penegakan HAM di Indonesia
Sedangkan dalam konstitusi Indonesia, Bivitri menjelaskan bahwa hal tersebut sangat jelas dalam perihal pertanggungjawaban negara dalam penegakan HAM. “Ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Sehingga negara Indonesia memiliki tanggungjawab konstitusional untuk ikut menegakan perlindungan HAM termasuk dalam perkara di Myanmar. Meskipun di dalam Konstitusi UUD 1945 terdapat perlindungan yang terang-benderang terhadap HAM setiap orang, namun dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan-ketentuan teknis yang menghambat penegakan nilai-nilai konstitusional perlindungan HAM.
“Setidaknya terdapat dua undang-undang yang menjadi landasan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia, yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kedua undang-undang tersebut mengatur perlindungan yang sangat luas terkait HAM. Bahkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU HAM, setiap orang yang mengalami pelanggaran HAM berhak untuk menuntut secara hukum dan memperoleh perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. Ketentuan ini diberikan kepada setiap orang, artinya kepada siapa pun tanpa memedulikan status kewarganegaraannya,” tandasnya.
Lebih lanjut, ia juga menerangkan, Pasal 5 ayat (2) UU HAM memastikan bahwa setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak. Ketentuan perlindungan HAM itu menjadi masalah dalam proses penegakannya sebab terdapat berbagai pembatasan yang ditentukan UU Pengadilan HAM. Pasal 5 UU Pengadilan HAM menentukan pembatasan bahwa proses pengadilan hanya diperuntukkan untuk warga negara Indonesia termasuk terhadap kejahatan yang dilakukan di luar teritorial Indonesia.
Frasa “oleh warga Indonesia” itu membuat pelaku-pelaku kejahatan HAM yang di luar wilayah Indonesia, baik yang pelakunya maupun korbannya adalah warga negara asing, tidak dapat diadili dalam peradilan Indonesia. Bagaimana jika pelaku kejahatan cukup aktif mengunjungi Indonesia dengan berbagai kepentingan non-diplomatik sementara korban berharap dapat mengajukan perkara ke dalam sistem pengadilan Indonesia karena konsep perlindungan HAM yang diberikan kepada setiap orang sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU HAM. Apalagi mustahil bagi korban untuk menuntut keadilan kepada negara dan pengadilan asalnya karena pelaku merupakan entitas yang berkuasa dan negara bukan tidak mungkin terlibat dalam pelanggaran tersebut. Setidak-tidaknya Tanah Air Indonesia tidak dapat dipijak oleh pelaku pelanggaran HAM karena hukum Indonesia dapat saja mengadilinya karena telah melanggar konstitusi Indonesia yang melindungi HAM setiap orang tersebut. Hukum Indonesia mengenal perlindungan HAM untuk setiap orang yang tidak membedakan status kewarganegaraan, termasuk terhadap pelanggaran HAM berat.
Di akhir keterangan sebagai ahli, Bivitri menyimpulkan, dengan konstruksi UUD 1945 seperti itu, UU Pengadilan HAM ini butuh diluruskan oleh MK, dikembalikan pada konteks UUD 1945 supaya UU Pengadilan HAM juga mengatur bagaimana HAM yang lebih luas daripada hak asasi warga negara ditegakkan dalam hukum Indonesia.
Baca juga:
Menembus Batas Teritorial Pengadilan HAM
AJI Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Uji UU Pengadilan HAM
Kuasa Presiden Minta Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Pandangan DPR Soal Pengadilan Pelaku Pelanggaran HAM Berat
Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Tanggung Jawab Negara dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat
Untuk diketahui, permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (26/09/2022), para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan adanya pembatasan pada Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka sulit bagi para korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran HAM. Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945”.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.