JAKARTA, HUMAS MKRI – Tiga kader Partai Golongan Karya (Partai Golkar) yaitu Derek Loupatty, Achmad Taufan Soedirjo, dan Martinus Anthon Werimon mengajukan diri sebagai Pihak Terkait atas Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 soal Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan sebagai Pihak Terkait diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Heru Widodo selaku kuasa hukum, pada Jumat (13/1/2023) siang.
Dalam wawancara dengan awak media usai mengajukan permohonan, Heru Widodo dan Derek Loupatty menyatakan para pihak memiliki kepentingan langsung atas permohonan pengujian UU Pemilu yang diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono ini. Heru menyebutkan pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini telah tepat dan memberikan rasa keadilan. Sebab, mekanisme pemilihan legislatif seharusnya sama dengan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden. Artinya, kata Heru, rakyat harus memilih wakilnya secara langsung. Sementara jika yang berlaku sistem proporsional tertutup, maka rakyat hanya akan memilih partai dan penentuan wakilnya akan ada pada kuasa partai politik.
“Apabila pasal-pasal terkait sistem proporsional ini diuji, kami mengajukan diri memang berbeda dengan pandangan para Pemohon pada perkara ini karena menurut kami rakyat punya kuasa tertinggi untuk memilih wakilnya dengan mencoblos wakilnya secara langsung,” jelas Heru dalam konferensi pers bersama awak media di Lantai Dasar Gedung MK.
Heru menambahkan terkait dengan majunya ketiga kader partai hingga permohonan ini diajukan, DPP Golkar belum mengetahui pengajuannya. Namun berpedoman pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Heru mengatakan ketiga orang caleg ini memiliki hak yang sama untuk kemudian dapat ditetapkan sebagai Pihak Terkait oleh MK.
“Melalui sidang di MK nantinya kami akan berkesempatan untuk menyampaikan keterangan dan argumentasi serta mengajukan ahli yang akan membahas tentang sistem proporsional terbuka yang harus dipertahankan sesuai dengan hukum yang berlaku saat ini,” jelas Heru.
Proporsional Terbuka Adalah Harapan
Sementara itu Derek Loupatty menambahkan bahwa meski dirinya saat ini menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Golkar, ia juga merupakan caleg yang telah diberikan surat oleh partai untuk melakukan sosialisasi sebagai pihak yang akan mengikuti kontestasi politik pada 2024 mendatang. Baginya sistem proporsional terbuka merupakan suatu harapan bagi 50% generasi milenial yang ada dalam partai untuk maju sebagai wakil rakyat. Jika sistem proporsional tertutup dilanggengkan kembali, maka partai akan kembali pada senioritas.
“Namanya Dewan Perwakilan Rakyat, bukan dewan perwakilan partai. Kami ini berinisiatif dari kader secara pribadi dan setelah berkonsultasi maka kami putuskan untuk mengajukan diri sebagai Pihak Terkait pada perkara ini. Menurut kami Demokrasi yang maju harus melalui sistem proporsional terbuka. Pemilu 2009 telah terbuka dan memberi ruang kembali pada rakyat guna mengenal calegnya. Kalau kembali ke sistem proporsional tertutup, maka kami akan jadi antrean panjang lagi. Jadi sistem proporsional terbuka adalah harapan. Kami sudah ada penugasan dari partai untuk sosialisasi diri. Rakyat harus mengenal siapa wakil yang dipilihnya. Negara demokrasi harus turut memberikan ruang pada rakyat untuk mengetahui wakilnya,” tegas Derek Loupatty.
Beberapa saat sebelumnya, Partai Bulan Bintang (PBB) pun telah mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait ke MK yang disampaikan langsung oleh Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra ke Ruang Pendaftaran Perkara Lantai Dasar Gedung MK pada Jumat (13/1/2023) pukul 10.30 WIB. Tiga hari sebelumnya, tepatnya pada pada Selasa (10/1/2023) lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah terlebih dulu mengajukan diri sebagai Pihak Terkait ke MK.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilu
PSI Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Partai Bulan Bintang Dukung Pemilu Coblos Partai Politik
Untuk diketahui, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Yakni, menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.