JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 10 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (10/1/2023). Permohonan Nomor 120/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Dedi Subroto yang berprofesi sebagai wiraswasta (Pemohon I), Bahrain yang berprofesi sebagai advokat (Pemohon II), dan Yayasan Pusat Studi Strategis dan Kebijakan Publik Indonesia (CSIPP). Majelis Sidang Panel sidang kali ini terdiri atas Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Ikhwan Fahrojih selaku kuasa hukum menyampaikan beberapa perbaikan permohonan yakni mengurangi jumlah Pemohon. Semula Pemohon perseorangan warga negara terdiri atas Dedi Subtoro dan Bahrain. Namun Pemohon atas nama Dedi Subroto saat proses permohonan meninggal dunia. “Salah satu Pemohon perseorangan atas nama Dedi Subroto pada proses permohonan meninggal dunia. Jadi kami hapuskan nama beliau sebagai Pemohon dan hanya Bahrain yang jadi Pemohon perseorangan pada perkara ini,” sebut Ihkwan.
Selanjutnya para Pemohon juga melakukan penajaman kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon satu per satu secara rinci. Pada sidang perbaikan ini, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah selaku pimpinan Sidang Panel memberikan catatan penekanan yang dimohonkan para Pemohon serta mengesahkan alat bukti yang diserahkan kepada Kepaniteraan MK. Untuk selanjutya, Kepaniteraan MK akan menginformasikan kepada para Pemohon mengenai kelanjutan persidangan perkara ini.
Baca juga:
Pemohon Minta Masa Jabatan Anggota KPUD Diperpanjang Hingga Pemilu Berakhir
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 120/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Bahrain yang berprofesi sebagai advokat, dan Yayasan Pusat Studi Strategis dan Kebijakan Publik Indonesia (CSIPP). para Pemohon mempertanyakan pemangkasan masa jabatan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota dengan keserentakan rekrutmennya dalam rangka persiapan Pemilu Serentak 2024.
Dalam pandangan para Pemohon, pemangkasan masa jabatan tersebut berdampak pada beberapa hal, di antaranya pemangkasan masa jabatan sebelum lima tahun melanggar asas legalitas. Sebab anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota dilantik untuk masa jabatan lima tahun sejak pengucapan sumpah.
Seleksi anggota KPU bersamaan dengan pelaksanaan tahapan pemilu berpotensi mengganggu jalannya tahapan pemilu. Selain itu, menyebabkan pemborosan karena negara harus menanggung kompensasi gaji para anggota KPU yang dipangkas dari masa jabatannya. Di sisi lain, negara tetap menggaji para anggota KPU yang masih menjabat.
“Berdasarkan data KPU RI dan membandingkan masa jabatan anggota KPU Provinsi pada 2023–2024 berbeda-beda. Ketidakseragaman masa jabatan ini akan berdampak pada banyaknya gelombang seleksi dan beragamnya waktu penyelenggaraan seleksi sehingga mengganggu konsentrasi pelaksanaan tahapan pemilihan umum serentak 2024. Demi penataan sistem penyelenggaraan pemilu yang baik, seharusnya rekrutmen anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan secara serentak di luar tahapan pemilu atau pada pra-elektoral. Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya transisi dengan memperpanjang masa jabatan anggota KPU yang semula berakhir 2023 dan 2024 diperpanjang hingga selesainya tahapan pemilu serentak pada tahun 2024,” jelas Ikhwan dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (19/12/2022).
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 10 Ayat (9) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Anggota KPU Provinsi, Anggota KPU Kabupaten/Kota yang berakhir masa jabatannya pada Tahun 2023 dan Tahun 2024 diperpanjang masa jabatanya sampai setelah selesainya Tahapan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.