JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar Putusan Nomor 107/PUU-XX/2022 menyatakan menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), Selasa (20/12/2022). Permohonan ini diajukan oleh Karminah, warga Semarang yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Karminah mengujikan Pasal 79 dan Pasal 31 ayat (1) UU MA.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah menyebutkan pada pokoknya Pemohon mempersoalkan ketentuan yang memberi kewenangan bagi MA untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU termasuk peraturan MA sendiri adalah tidak objektif dan bertentangan dengan asas nemo judex in causa sua. Menurut Mahkamah, dalil demikian merupakan asumsi Pemohon belaka yang dihubungkan dengan perkara konkret yang sedang dihadapi oleh Pemohon di Pengadilan Agama Semarang yang kebenarannya bukan menjadi kewenangan MK untuk menilainya. Terlebih lagi, sambung Arief, berdasarkan Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945, MA dan MK sudah memiliki kewenangannya masing-masing. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum.
Terhadap persoalan yang diajukan pada permohonan ini sejatinya MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-VII/2009 telah menegaskan sikap bahwa Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur kewenangan MA dalam Pasal 24A dan MK dalam Pasal 24C. Apabila Mahkamah menguji materi pasal-pasal yang dimohonkan dalam permohonan ini, maka secara tidak langsung Mahkamah akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945, dengan kata lain Mahkamah akan menguji konstitusionalitas dari materi UUD 1945. Oleh karenanya Mahkamah berpendapat hal demikian bukan menjadi kewenangan Mahkamah karena keberadaan pasal-pasal dalam UUD 1945 adalah pilihan dari pembuat UUD 1945 dan Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk menilai pilihan pembuat UUD 1945 tersebut. Oleh karena esensi permohonan Pemohon pada perkara ini sama dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya, maka pertimbangan putusan Mahkamah tersebut menjadi mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum putusan perkara ini.
“Menurut mahkamah telah ternyata Pasal 79 UU MA dan Pasal 31 ayat (1) UU MA tidak bersifat multitafsir dan telah menjamin kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, maka permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” sebut Arief pada Sidang Pengucapan Putusan yang diikuti oleh seluruh hakim konstitusi.
Baca juga:
Ibu Rumah Tangga Ujikan Peraturan MA Soal Penundaan Eksekusi
Pemohon Uji UU MA Perjelas Alasan Permohonan
Pada sidang sebelumnya, Pho Iwan Salomo selaku kuasa Pemohon menyebutkan Pasal 79 ayat (1) UU MA memberi wewenang yang tidak terbatas kepada MA untuk membuat peraturan sendiri. Seharusnya peraturan MA sebagai diskresi tidak boleh melebihi undang-undang (UU). Namun pada praktiknya pelaksanaan peraturan MA justru melebihi UU. Terkait hal itu, sambung Iwan, Pemohon menarasikan tentang SK Ketua MA RI (SK KMA) Nomor KMA/032/SK/IV/2006 Tanggal 4 April 2006 mengenai penangguhan eksekusi yang melebihi UU. Dalam kasus konkret Pemohon menyebutkan telah mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama Semarang atas Penetapan Eksekusi Pengadilan Agama Semarang Nomor 002/Pdt.Eks/2016/PA.Smg Tanggal 1 September 2016. Pada pelaksanaan yang telah sampai pada tahap sita, eksekusi justru ditunda dengan adanya Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Agama Semarang. Atas hal ini, Pemohon menilai penetapan penundaan eksekusi tersebut bersifat sewenang-wenang sehingga tidak sah. Menurut Pemohon, Wakil Ketua Pengadilan Agama Semarang tersebut bukanlah pejabat yang berwenang membuat diskresi.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.