JAKARTA, HUMAS MKRI – Kasus dugaan malpraktik Operasi Bariatric yang menewaskan dr. Gerry Irawan, Sp.OG berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terkait kasus tersebut, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) mengeluarkan putusan dengan dokter teradu, yakni Gede Eka Rusdi Antara. Atas putusan yang dikeluarkan oleh MKDKI pada 21 Oktober 2022 tersebut, Gede mengajukan uji materiil aturan kewenangan MKDKI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Kedokteran). Dalam permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 119/PUU-XX/2022, Pemohon menguji tiga pasal, yakni Pasal 59 ayat (1), Pasal 59 ayat (2) huruf g dan Pasal 69 ayat (1) UU Kedokteran.
Pasal 59 ayat (1) berbunyi, “Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter, dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum”. Pasal 59 ayat (2) huruf g berbunyi, “Untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia harus dipenuhi syarat sebagai berikut: g. Bagi Sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bidang hukum paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan”. Pasal 69 ayat (1) berbunyi, ”Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan konsil kedokteran Indonesia”.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Kamis (15/12/2022), Viktor Santoso Tandiasa dan Ardiyanto Panggeso hadir mewakili Pemohon sebagai kuasa hukum secara virtual. Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam kasus konkret, Pemohon berdasarkan Putusan MKDKI mendapatkan sanksi berupa pencabutan surat tanda registrasi (STR) untuk sementara selama 12 bulan, terhitung sejak 24 Oktober 2022 – 24 Oktober 2023. Selama kurun waktu tersebut, segala bentuk perizinan dan penugasan penyelenggaraan praktik kedokteran milik Pemohon dinyatakan tidak berlaku. Akibat dari sanksi tersebut, Pemohon mengalami kerugian langsung karena diberhentikan untuk praktik di Rumah Sakit Umum Surya Husadha, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, dan Rumah Sakit Umum Bali Royal.
“Selain itu, Pemohon juga mengalami mutasi dari posisi KSM Bedah umum menjadi Bidang Pelayanan Medik. Tanpa STR dan SIP sama dengan mencabut setengah nyawanya karena dokter tidak bisa mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidupnya,” jelas Viktor di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah.
Atas dasar keputusan MKDKI tersebut, Pemohon melakukan gugatan perdata dan laporan pidana ke kepolisian. Dalam mekanisme penegakan disiplin, proses pemeriksaan hanya dilakukan pada sidang yang digelar oleh MPD dan kemudian putusannya dijadikan Keputusan MKDKI yang dijadikan pula sebagai Keputusan KKI tanpa dapat direviu jika terdapat kesalahan/kekeliruan majelis pemeriksa disiplin dalam memeriksa dan memutus pengaduan dugaan pelanggaran disiplin. Akibat berlakunya ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (2) huruf g UU Kedokteran, Viktor menyebutkan bahwa Pemohon menjadi tidak mendapatkan penilaian atas tindakan praktik kedokteran secara kompeten dan berimbang.
Selain itu, berlakunya ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Kedokteran membuat Pemohon tidak mendapatkan mekanisme transparan dan adil, serta tidak bisa mendapatkan kesempatan mekanisme reviu/koreksi berjenjang karena putusan Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) langsung menjadi Keputusan MKDKI dan mengikat bagi KKI. Ditambah pula dengan berlakunya ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Kedokteran tersebut, Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil karena berdasarkan Keputusan MKDKI dapat dijadikan dasar melakukan gugatan baik perdata maupun pidana.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 59 ayat (1) UU Kedokteran terhadap frasa “sarjana hokum” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “Magister Hukum Kesehatan”. Sehingga bunyi selengkapnya menjadi “Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang Magister Hukum Kesehatan.
“Menyatakan Pasal 59 ayat (2) huruf g UU Kedokteran terhadap frasa ‘Sarjana Hukum’ sepanjang tidak dimaknai ‘Magister Hukum Kesehatan’. Terhadap frasa ‘Bidang hukum sepanjang tidak dimaknai Hukum Kesehatan’, dan terhadap frasa ‘dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga bunyi selengkapnya menjadi ‘g. Bagi Magister Hukum Kesehatan, pernah melakukan praktik di bidang hukum kesehatan paling sedikit 10 (sepuluh) tahun’,” tandas Viktor.
Kerugian Hak Konstitusional
Dalam nasihat Majelis Hakim Sidang Panel, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan beberapa catatan bahwa Pemohon telah dijatuhi sanksi, maka perlu dilakukan elaborasi mengenai bagaimana kerugian konstitusional timbul dengan frasa “sarjana hukum dan bidang hukum” pada UU Kedokteran tersebut. Berikutnya, Pemohon perlu menjelaskan relevansi jatuhnya sanksi yang dialami dengan frasa yang diujikan pada UU Kedokteran. Selanjutnya, Pemohon diminta untuk membuat sebab akibat dari keberlakukan dari frasa “sarjana hukum” dan tafsir Pemohon yang ingin memberikan makna “tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugat secara perdata dan pidana”.
“Hal ini berangkat dari kasus konkret, sehingga ini perlu alasan yang memperkuat frasa yang minta diujikan ini. sementara dalam alasan permohonan perlu dijelaskan mengapa pengetahuan dibidang hukum itu tidak tepat untuk duduk pada posisi sebagai MKDKI, padahal lembaga ini memerikan penilaian terhadap pelanggaran etik. Maka dibutuhkan orang berlatar bellakang hukum, kenapa Pemohon melihat hal tersebut tidak perlu? Apakah hanya cukup dengan orang-orang kedokteran atau magister hukum kedokteran,” sebut Guntur.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan perlu bagi Pemohon untuk menjelaskan alasan provisi dalam bagian pokok permohonan. Sehingga sistematika permohonan terlihat lebih runut dan pada bagian Petitum pun menjadi lebih konkret dan jelas. Berikutnya berkaitan dengan pasal yang diujikan ini, lanjutnya, keraguan Pemohon pada keberadaan sarjana hukum tersebut secara kompetensi atau pada tataran implementasi. Selanjutnya, Pemohon juga diharapkan melampirkan putusan dari MKDKI atas sanksi yang dijatuhkan pada pihak Pemohon. Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan terkait dengan proses terhadap kasus yang dialami Pemohon perlu diuraikan duduk perkara pemberian sanksi yang dijatuhkan oleh MKDKI tersebut untuk memperjelas segala sesuatunya.
Sebelum mengakhiri persidangan, Daniel menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan hingga Rabu, 28 Desember 2022 pukul 11.00 WIB. Sidang berikutnya akan ditentukan oleh Mahkamah dan akan diberitahukan pada Pemohon melalui Kepaniteraan MK.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana