JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Kamis (15/12/2022). Permohonan perkara Nomor 117/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Berkarya, yang diwakili oleh Muchdi Purwopranjono sebagai Ketua Umum DPP Partai Berkarya dan Fauzan Rachmansyah sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Berkarya.
Pasal 169 huruf n UU Pemilu menyatakan, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;”
Penjelasan Pasal 169 huruf n menyebutkan, “Yang dimaksud dengan “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalamjabatan yang sama” adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun.”
Pasal 227 huruf i UU Pemilu menyatakan, “Pendaftaran bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dilengkapi persyaratan sebagai berikut: i. surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;”
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, M. Malik Ibrahim menyampaikan Pemohon sebagai partai politik memiliki hak konstitusional untuk mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden termasuk calon yang sedang menjabat atau terpilih sebagai Presiden atau Wakil Presiden dalam pemilu sebelumnya. Namun demikian, Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu telah membatasi atau mereduksi hak konstitusional Pemohon untuk mengajukan calon presiden atau calon wakil presiden karena sedemikian rupa mengatur persyaratan calon presiden atau wakil presiden yaitu belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama atau sering disebut selama 2 (dua) periode yang dibuktikan dengan surat pernyataan.
“Ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 memiliki prinsip yang sama, yaitu mengatur persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama,” kata M. Malik Ibrahim secara daring dalam sidang panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Dikatakan Malik, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 terdapat kata “dan” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti/makna “penghubung satuan bahasa (kata, frasa, klausa, dan kalimat) yang setara, yang termasuk tipe yang sama serta memiliki fungsi yang tidak berbeda”. Dengan demikian, kata “dan” merupakan penghubung frasa/kalimat sebelum dan sesudahnya. Dalam artian frasa/kalimat sebelum dan sesudahnya tersebut saling bertalian atau berhubungan satu dengan yang lain. Selain itu, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 juga memuat dua tanda koma (,) yang menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), tanda koma (,) digunakan untuk beberapa hal di antaranya digunakan sebelum kata penghubung maupun digunakan untuk mengapit keterangan tambahan atau keterangan aposisi. Oleh sebab itu, telah jelas dan terang (expressive verbis) bahwa setiap frasa/kalimat dalam ketentuan Pasal 7 UUD 1945 saling terkait/berhubungan dan karenanya tidak untuk ditafsirkan lain selain daripada yang tertulis dalam ketentuan Pasal 7 UUD 1945.
Masa Jabatan Presiden
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 terbagi atas dua kalimat yaitu: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Apabila membaca secara utuh satu kesatuan norma Pasal 7 UUD 1945 yang saling bertalian atau saling berhubungan, maka satu paket pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang sedang memegang jabatan selama lima tahun lah yang sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan (lima tahun).
Masa jabatan 5 (lima) tahun sejalan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Frasa “dapat dipilih kembali” hanya untuk satu paket pasangan presiden dan wakil presiden yang dimaksud dalam kalimat sebelumnya, yaitu presiden dan wakil presiden (yang sedang) memegang jabatan selama lima tahun. Dan frasa “hanya untuk satu kali masa jabatan” menunjukan bahwa pada hakikatnya memang masa jabatan hasil pemilu adalah lima tahun. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun norma hukum di Indonesia yang mengatur masa jabatan hasil pemilu selain daripada satu kali masa jabatan, misalnya sepuluh tahun secara sekaligus.
Dengan demikian, khusus terhadap satu paket pasangan presiden dan wakil presiden yang sama yang sedang menjabat, dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Apabila individu presiden atau wakil presiden yang sedang menjabat mencalonkan diri atau dicalonkan dengan memilih pasangan baru lainnya yang berbeda untuk menjadi calon wakil presiden atau calon presidennya, maka terhadap individu presiden atau individu wakil presiden yang sedang menjabat tersebut tidak terikat dan tidak berlaku ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan karena pasangan mereka (individu presiden atau individu wakil Presiden) dalam pemilihan selanjutnya bukanlah orang yang sedang menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, melainkan orang baru lainnya yang berbeda.
Malik juga menjelaskan, berdasarkan tafsir gramatikal dan tafsir sistimatis Pasal 7 UUD 1945 apabila dihubungkan dengan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu, ketentuan 2 (dua) kali masa jabatan hanya berlaku terhadap pasangan presiden dan wakil presiden yang sama yang terpilih berdasarkan hasil pemilu sebelumnya yang sedang memegang jabatan selama lima tahun, kemudian pasangan (presiden dan wakil presiden yang sama yang sedang memegang jabatan) tersebut mencalonkan atau dicalonkan kembali dalam pemilu, sehingga dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan yaitu lima tahun. Oleh sebab itu, jelas dan tegas dalam Pasal 7 UUD 1945 pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih ini dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan, sehingga pasangan yang sama tersebut hanya dapat memegang jabatan total 2 (dua) kali masa jabatan (sepuluh tahun).
“Telah jelas dan terang ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 berbeda dan bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945 yaitu ketentuan belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 berbeda jauh dengan makna yang terkandung dalam Pasal 7 UUD 1945,” lanjut Malik.
Malik Menegaskan, akan menjadi berbeda cerita apabila ketentuan Pasal 7 UUD 1945 berbunyi misalkan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan masing-masing presiden dan wakil presiden sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Atau berbunyi tidak ada seorang pun yang dipilih sebagai presiden dan wakil presiden lebih dari dua kali masa jabatan.
Apabila ketentuan Pasal 7 UUD 1945 berbunyi seperti tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu sejalan dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi. Ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu demi hukum dan untuk melindungi hak konstitusional Pemohon harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena ketentuan Pasal 7 UUD 1945 telah terang dan jelas serta tidak perlu lagi diterjemahkan atau ditafsrikan ke dalam suatu Undang-Undang (in casu UU Pemilu) sebagaimana adagium interpretatio cessat in claris atau plain meaning rule, yang berarti penafsiran berhenti ketika suatu teks atau pasal telah jelas.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan Pemohon agar mencantumkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021. “Selain UUD 1945 yang dicantumkan, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kemudian juga UU MK. Terakhir, masukkan PMK, karena dalam PMK itu nanti saudara bisa melihat, membaca di Pasal 10 khususnya kalau perlu Pasal 11 supaya mengerti sistematika permohonan yang lebih baik,”ujar Manahan.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta pemohon untuk memperkuat legal standing dengan menguraikan apakah Partai Berkarya merupakan partai politik peserta pemilu atau tidak. Menurut Daniel, legal standing menjadi pintu masuk terkait alasan-alasan permohonan atau positanya.
Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan permohonan pemohon sudah bagus dalam menkonstatir beberapa norma yang dicantumkan dan dielaborasi dengan cukup mendalam. Namun demikian, Guntur mencermati kaitan antara norma yang diujikan dengan kerugian konstitusional yang dialami. “Hak konstitusional apa yang anda merasa dirugikan dengan norma-norma yang anda pandang kontradiktif antara pasal yang diuji dengan batu ujinya. Nah, ini perlu juga dielaborasi sehingga hakim nanti bisa tahu kerugian yang dialami baik kerugian faktual atau kerugian potensial,” tutur Guntur.
Selain itu, Guntur juga mengatakan permohonan Pemohon terlalu menekankan pada tafsir gramatikal dan tafsir sistematis. Menurutnya, perlu dilihat dari jenis tafsir yang lain misal tafsir filosofisnya seperti apa, konseptualnya bagaimana, kemudian bagaimana original intentnya dari pasal yang diujikan.
Sebelum menutup persidangan, Guntur menginformasikan Pemohon diberi waktu untuk melakukan perbaikan permohonan. Adapun batas penyerahan perbaikan yakni Rabu 28 Desember 2022 pukul 10.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.