JAKARTA, HUMAS MKRI - Sesuai dengan ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, negara hadir dan bertanggung jawab jika warga negara Indonesia tersangkut dengan pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya, ketentuan Pasal 5 UU Pengadilan HAM telah selaras dengan UUD 1945. Sehingga Pemerintah menyatakan ketentuan norma yang diujikan pada perkara ini tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi saat menyampaikan keterangan Presiden/Pemerintah dalam sidang keenam uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Rabu (14/12/2022). Sidang untuk Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III) ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Lebih jelas Mualimin menyebutkan, pada intinya Pengadilan HAM berwenang memeriksa dan memutus perkara HAM berat yang berada di luar batas teritorial wilayah RI yang dilakukan oleh warga Indonesia. Atas keterangan ini, Pemerintah menyatakan ketentuan norma Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah berharap Mahkamah dapat menerima keterangan Pemerintah dan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
“Dalam persidangan ini, saya mewakili Pemerintah yang akan membacakan pokok-pokoknya saja dan keterangan lengkap akan diserahkan secara tertulis pada minggu mendatang,” kata Mualimin.
Atas keterangan sangat singkat Pemerintah ini, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta keterangan tertulis yang akan diserahkan pada pekan mendatang itu memuat beberapa hal, di antaranya mengenai perdebatan atas norma yang dimohonkan para Pemohon yang dikaitkan dengan memperluas makna dari pasal yang dimaksudkan sehingga dapat mengadili kasus yang bukan menyangkut warga negara Indonesia. Saldi juga meminta agar Pemerintah memberikan keterangan terhadap peradilan HAM untuk yang bukan warga negara (Indonesia). Selanjutnya Saldi meminta Pemerintah agar memuat soal pemberlakuan Asas Nasionalitas dalam hukum pidana.
“Apakah ada pandangan dari Pemerintah atas Asas Nasionalitas dalam perkara ini. Maka tiga opini ini mohon untuk bisa dijelaskan pada keterangan tertulis Pemerintah nantinya,” kata Saldi.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar Pemerintah dalam keterangan tertulisnya menambahkan keterangan soal politik hubungan luar negeri Indonesia dalam menghadapi kejahatan internasional, terutama menyoal kasus di Myanmar. “Bagaimana politik luar negeri Indonesia dalam menyikapi isu serupa keadaan Myanmar ini,” jelas Enny.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan sidang berikutnya dilaksanakan pada Selasa, 16 Januari 2023 pukul 11.00 WIB. Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan dari dua Ahli dan satu Saksi yang dihadirkan oleh para Pemohon.
Baca juga:
Menembus Batas Teritorial Pengadilan HAM
AJI Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Uji UU Pengadilan HAM
Kuasa Presiden Minta Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Pandangan DPR Soal Pengadilan Pelaku Pelanggaran HAM Berat
Untuk diketahui, permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (26/09/2022), para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan adanya pembatasan pada Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka sulit bagi para korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran HAM. Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.