JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua dari uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu (7/12/2022). Permohonan dari dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara ini terdiri atas Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P)), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat/Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan tersebut, Sururudin selaku kuasa hukum menyebutkan beberapa perbaikan permohonan yang dilakukan para Pemohon. Perbaikan tersebut, di antaranya menegaskan tentang kedudukan hukum Pemohon I, II, dan III merupakan masyarakat yang aktif dalam organisasi dan peduli pada pemilu yang partainya tidak lolos pada pemilu. Selain itu, Pemohon III adalah sosok yang aktif dalam dunia pendidikan, sedangkan Pemohon IV berencana mencalonkan diri pada pemilu mendatang dan Pemohon V dulunya adalah anggota Partai Nasdem.
“Para Pemohon adalah warga negara yang peduli pada kemajuan demokrasi dan proses demokrasi serta pemilihan umum. Intinya pada permohonan para Pemohon merasa dirugikan karena pasal-pasal yang diujikan merugikan Pemohon,” jelas Sururudin di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Arif Hidayat, Suhartoyo, dan Manahan M. P. Sitompul.
Berikutnya Sururudin juga menyebutkan alasan permohonan pada permohonan juga telah diubah yang mengulas tentang polarisasi pada pemilu 2017 – 2019 yang telah melemahkan keberadaan partai politik. Hal ini, lanjutnya, terjadi akibat meningkatnya rasa individualisme masyarakat tanpa keterlibatan partai politik yang berdampak pula pada rasa persatuan kesatuan dan persatuan yang menurun. Sehingga sejak diberlakukannya sistem terbuka, masyarakat cenderung mendengarkan orang-orang yang individualis.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilu
Saat sidang pendahuluan Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persangan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Meskinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Yakni, menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pelilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina